HIWALAH
PENDAHULUAN
Hiwalah adalah
pemindahan hutang kepada orang lain. Dalam hal ini dilakukan tapi ada syarat-syarat
dan rukun-rukun hiwalah. Orang-orang islam itu sering melakukan hutang piutang dan akhirnya itu menimbulkan hiwalah.
Orang islam itu boleh melakukan hutang-piutang tetapi kalau bisa jangan memindahkan hutang kepada orang lain. Kalau orang yang berhutang masih mampu mengembalikan hutang kepada orang yang memberi hutang. Tapi
kebanyakan orang itu meremehkan masalah pemindahan hutang.
Dalam makalah
ini, kami akan membahas tentang hiwalah yang meliputi:
1. Pengertian hiwalah
2. Dasar hukum hiwalah
3. Rukun hiwalah
4. Syarat-syarat hiwalah
5. Beban muhil setelah hiwalah.
6. Berakhirnya hiwalah
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal
dan al-tahwil, artinya adalah
memindahkan atau mengoperkan.[1]
Secara spesifik hiwalah adalah pemindahan utang atau piutang dari seseorang (A)
kepada pihak lain (B) dengan syarat dan ketentuan tetap sama.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut para ulama antara lain:
1.
Menurut
Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah
ialah:
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
2.
Al-Jaziri
berpendapat yang dimaksud dengan hiwalah
ialah:
نَقْلُ الدَّيْنِ مِنْ
ذُمَّةِ اِلَى ذِمَّةِ
“Pernikahan utang dari tanggung jawab seorang menjadi tanggung
jawab orang lain.”
3.
Muhammad Syatha
Al-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud
hiwalah ialah:
عَقْدُ يَقْتَضِى تَحْوِيْلَ دَيْنِ مِنْ دِمَّةِ اِلَى دِمَّةِ
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi
beban orang lain.”
4.
Ibrahin
Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah
ialah:
نَقْلُ الحَقُّ مِنْ ذِمَّةِ الُمحِيْلِ اِلَى ذِمَّةِ الُمحَاَلَ عَلَيْهِ
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban
yang menerima pemindahan.”
5.
Taqiyuddin
berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah:
اِنْتِقَالَ الدَّيْنِ
مِنْ ذِمَّةِ اِلَى ذِمَّةِ
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”[2]
Dari beberapa definisi
diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dinamakan dengan hiwalah adalah suatu akad untuk memindahkan
hutang dari seseorang kepada yang lainnya karena terikat oleh perjanjian atau persetujuan.[3]
Hutang piutang adalah
memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang
sama dengan itu. Contohnya, A mengutang uang Rp 50.000,- kepada B. Maka A harus
membayar hutangnya dengan nilai yang sama.
B.
Dasar Hukum
Pelaksanaan hiwalah dibenarkan dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَطْلُ الغَنِى ظُلَمٌ
وَاِذَا اُتْبِعَ عَلَى مَلُىءٍ فَالْيَتْبَعُ (رواه الجماعة(
“memperlambat pembayaran hutang
yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang diantara
kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah dia beraih
(diterima pengalihan tersebut).” (HR. Jamaah)[4]
مَطْلُ الغَنِىِّ ظُلْمٌ
فَاِذَا اُحِيْلَ اَحَدُكُمْ عَلَى مَلْئٍ فَلْيَحْتَل (رواه احمد والبيهقى(
“orang yang mampu membayar hutang
haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan
hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pemindahan itu asal yang lain
mampu membayar.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Berdasarkan hadis
inilah maka para ulama berijma’ dan menyepakati bahwa seseorang boleh berhiwalah.
Tetapi dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan, tidak semua orang boleh
berhiwalah saat ia mampu menjalankan kewajibannya terhadap hutang yang ia
tanggung.[5]
C.
Jenis Hiwalah
Dilihat dari
segi akad hiwalah juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Apabila yang
dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak).
Contoh hiwalah al-haqq digambarkan dalam bagan:
Keterangan: Berhutang
Menuntut hutang
Jadi, ‘Imron memindahkan hutangnya kepada Mustaqim,
sehingga Hanafy yang seharusnya menuntut hutang kepada ‘Imron, berhak menuntut
hutangnya kepada Mustaqim.
2. Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah al-Dain (pemindahan hutang).
Contoh hiwalah al-dain digambarkan dalam bagan:
Keterangan: Berhutang
Membayar hutang
Jadi, ‘Imron memindahkan hutangnya kepada Mustaqim,
sehingga Mustaqim yang seharusnya membayar hutang kepada ‘Imron, wajib membayar
hutangnya kepada Hanafy.
Dilihat
dari segi yang lain Hanafi membedakan hiwalah ini menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Hiwalah mutlaqah, yaitu
seseorang memindahkan hutangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan
hutang yang ada pada orang lain. Contoh: A berhutang kepada B sebesar Rp.5.000.000,-.
A mengalihkan hutangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar hutang A
kepada B tanpa menyebutkan bahwa hutang tersebut
sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A. Dengan demikian, hiwalah
al-Mutlaqah hanya mengandung hiwalah al-Dains
aja, karena yang di pindahkan hanya hutang C kepada A menjadi hutang C kepada
B.
Contoh hiwalah mutlaqah digambarkan dalam bagan:
Keterangan: Berhutang
Membayar hutang
2. Hiwalah muqayyadah, yaitu
seseorang memindahkan utang dan mengkaitkan dengan piutang yang ada padanya. Contoh: A berhutangkepada B sebesarRp. 5000.000,- Sedangkan B
jugaberhutangkepada C sebesar Rp.5.000.000,- B kemudian memindahkan atau mengalihkan
haknya menuntut hutang yang ada pada C, kepada A sebagai ganti dari pembayaran hutang
B kepada A.[6]
Contoh hiwalah muqayyadah digambarkan dalam bagan:
3.
Keterangan: Berhutang
Membayar hutang
D. Rukun Hiwalah
1.
Rukun hiwalah
secara umum adalah:
a. Orang
yang berutang dan berpiutang (muhil).
b. Orang
yang berpiutang (muhtal).
c. Orang
yang berutang (muhal alaih).
d. Utang muhil kepada muhtal.
e. Utang muhtal alaih kepada muhil.
f. Persetujuan
antara muhtal dan muhil.
2.
Sedangkan menurut Hanafiyah, rukun hiwalah
hanya satu yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalah dengan
yang menerima hiwalah.[8]
3.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada
empat yaitu:
a. muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang
yang memindahkan utang.
b. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang
yang mempunyai utang kepada muhil.
c. Muhal’ alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
E. Syarat-syarat
Hiwalah
Syarat-syarat
hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
1. Orang
yang memindahkan utang adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah jika muhil
dalam keadaan gila atau masih kecil.
2. Orang
yang menerima hiwalah adalah orang
yang berakal, maka batallah hiwalah yang
dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3. Orang
yang dihiwalahkan juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia
meridhainya.
4.
Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Syarat-syarat
hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah:
1. Relanya
pihak muhil dan muhal.
2. Samanya
kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas,
dan kuantitasnya.
3. Stabilnya
muhal’ alaih, maka penghiwalahan kepada seseorang yang tidak
mampu membayar utang adalah batal.
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari malikiyah, syafiiyah
dan hanabilah, rukun hiwalahada 6 yaitu:
1. Pihak pertama.
2. Pihak kedua.
3. Pihak ketiga.
4. Utang pihak pertama kepada pihak kedua.
5. Utang pihak ketiga kepada pihak pertama.
6. Shigat.
Syarat-syarat pihak pertama yaitu:
·
Baliq dan berakal.
·
Ada pernyataan persetujuan
Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:
·
Baliq dan berakal.
·
Adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah, atas pertimbangan kebiasaan
orang dalam membayar hutang berbeda-beda.
Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:
·
Baliq dan berakal.
·
Menurut Hanafi
mensyaratkan adanya pernyataan dan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab
lainya tidak mensyaratkan hal itu.
Syarat-syarat bagi muhalbih:
·
Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam
bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
·
Apabila penggalihan
hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah,
semua ulama fiqih sepakat bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun
utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
·
Ulama dari madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya.
F.
Beban Muhil setelah Hiwalah
Dalam
buku fiqh sunnah, Sayyyid Sabiq mengatakan apabila hiwalah berjalan sah maka tanggung jawab muhil telah gugur
dengan sendirinya. Seandainya muhal
‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal
tidak boleh kembali lagi kepada muhil
hal ini menurut jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki bila muhil menipu muhal, bahwa muhal ’alaih ternyata orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun
untuk membayar, maka muhal boleh kembali
kepada muhil dan jika orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain,
kemudian muhal ’alaih mengalami kebangkrutan
atau meninggal dunia dan dia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Sedangkan menurut Abu Hanifah,
Syarih dan Utsman berpendapat bahwa jika keadaan muhal ‘alai hmengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka muhal kembali kepada muhil untukmenagihnya.[11]
G. Berakhirnya Hiwalah
Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa
sebab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Karena dibatalkan atau fasakh.
Ini terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan sampai tahapan
akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari muhal akan kembali lagi kepada muhil.
2. Hilangnya hak muhal ’ alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari
adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau
saksi.
3. Jika muhal ’alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal.
Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya muhal sementara Muhal ’alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan.
Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut
madzhab Hanafi.
5. Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah
kepada muhal ’alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6. Jika muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada muhal ’alaih.
KESIMPULAN
Hiwalah adalah suatu akad
untuk memindahkan hutang dari seseorang kepada yang lainnya karena terikat oleh
perjanjian atau persetujuan.
Dilihat
dari segi akad hiwalah juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1.
hiwalah al-haqq
2.
hiwalah al-Dain
Dilihat
dari segi yang lain Hanafi membedakan hiwalah ini menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Hiwalah mutlaqah
2. Hiwalah muqayyadah
Rukun hiwalah secara umum adalah:
a. Orang
yang berutang dan berpiutang (muhil).
b. Orang
yang berpiutang (muhtal).
c. Orang
yang berutang (muhal alaih).
d. Utang muhil kepada muhtal.
e. Utang muhtal alaih kepada muhil.
f. Persetujuan
antara muhtal dan muhil.
g. Lafadz
akad
Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Karena dibatalkan atau fasakh.
2. Hilangnya hak muhal’ alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia
mengingkari adanya akad hiwalah sementara
muhal tidak dapat menghadirkan bukti
atau saksi.
3. Jika muhal
’alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal.
4. Meninggalnya muhal sementara Muhal ’alaih mewarisi
harta hiwalah karena pewarisan
merupakan salah satu sebab kepemilikan.
5. Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah
kepada muhal ’alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6. Jika muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada muhal ’alaih.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2004.
Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2009.
Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi, Fikih
Islam Lengkap.Jakarta: PT. RinekaCipta. 2004.
Idris, Ahmad. Fiqh
al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah. 1986.
Sudarsono.Pokok-pokok
Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
2001.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar