Selasa, 25 November 2014

makalah hiwalah

HIWALAH
PENDAHULUAN
Hiwalah adalah pemindahan hutang kepada orang lain. Dalam hal ini dilakukan tapi ada syarat-syarat dan rukun-rukun hiwalah. Orang-orang islam itu sering melakukan hutang piutang dan akhirnya itu menimbulkan hiwalah.
Orang islam itu boleh melakukan hutang-piutang tetapi kalau bisa jangan memindahkan hutang kepada orang lain. Kalau orang yang  berhutang masih mampu mengembalikan hutang kepada orang yang memberi hutang. Tapi kebanyakan orang itu meremehkan masalah pemindahan hutang.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang hiwalah yang meliputi:
1.      Pengertian hiwalah
2.      Dasar hukum hiwalah
3.      Rukun hiwalah
4.      Syarat-syarat hiwalah
5.      Beban muhil setelah hiwalah.
6.      Berakhirnya hiwalah











PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya adalah memindahkan atau mengoperkan.[1] Secara spesifik hiwalah adalah pemindahan utang atau piutang dari seseorang (A) kepada pihak lain (B) dengan syarat dan ketentuan tetap sama.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut para ulama antara lain:
1.      Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah:
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
2.      Al-Jaziri berpendapat yang dimaksud dengan hiwalah ialah:
نَقْلُ الدَّيْنِ مِنْ ذُمَّةِ اِلَى ذِمَّةِ
“Pernikahan utang dari tanggung jawab seorang menjadi tanggung jawab orang lain.”
3.      Muhammad Syatha Al-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah:
عَقْدُ يَقْتَضِى تَحْوِيْلَ دَيْنِ مِنْ دِمَّةِ اِلَى دِمَّةِ
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”
4.      Ibrahin Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah:
نَقْلُ الحَقُّ مِنْ ذِمَّةِ الُمحِيْلِ اِلَى ذِمَّةِ الُمحَاَلَ عَلَيْهِ
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan.”
5.      Taqiyuddin berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah:
اِنْتِقَالَ الدَّيْنِ مِنْ ذِمَّةِ اِلَى ذِمَّةِ
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”[2]
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dinamakan dengan hiwalah adalah suatu akad untuk memindahkan hutang dari seseorang kepada yang lainnya karena terikat oleh perjanjian atau persetujuan.[3]
Hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Contohnya, A mengutang uang Rp 50.000,- kepada B. Maka A harus membayar hutangnya dengan nilai yang sama.

B.     Dasar Hukum
Pelaksanaan hiwalah dibenarkan dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
       مَطْلُ الغَنِى ظُلَمٌ وَاِذَا اُتْبِعَ عَلَى مَلُىءٍ فَالْيَتْبَعُ (رواه الجماعة(
       “memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang diantara kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah dia beraih (diterima pengalihan tersebut).” (HR. Jamaah)[4]
مَطْلُ الغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا اُحِيْلَ اَحَدُكُمْ عَلَى مَلْئٍ فَلْيَحْتَل (رواه احمد والبيهقى(
       “orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pemindahan itu asal yang lain mampu membayar.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Berdasarkan hadis inilah maka para ulama berijma’ dan menyepakati bahwa seseorang boleh berhiwalah. Tetapi dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan, tidak semua orang boleh berhiwalah saat ia mampu menjalankan kewajibannya terhadap hutang yang ia tanggung.[5]
C.     Jenis Hiwalah
Dilihat dari segi akad hiwalah juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak).
Contoh hiwalah al-haqq digambarkan dalam bagan:
Oval: Mustaqim
 





Oval: ‘ImronOval: Hanafy 
 



Keterangan:            Berhutang
                               Menuntut hutang
Jadi, ‘Imron memindahkan hutangnya kepada Mustaqim, sehingga Hanafy yang seharusnya menuntut hutang kepada ‘Imron, berhak menuntut hutangnya kepada Mustaqim.
2.      Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-Dain (pemindahan hutang).
Contoh hiwalah al-dain digambarkan dalam bagan:
Oval: Mustaqim
 





Oval: ‘ImronOval: Hanafy 
 



Keterangan:            Berhutang
                               Membayar hutang
Jadi, ‘Imron memindahkan hutangnya kepada Mustaqim, sehingga Mustaqim yang seharusnya membayar hutang kepada ‘Imron, wajib membayar hutangnya kepada Hanafy.
Dilihat dari segi yang lain Hanafi membedakan hiwalah ini menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      Hiwalah mutlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang lain. Contoh: A berhutang kepada B sebesar Rp.5.000.000,-. A mengalihkan hutangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B  tanpa menyebutkan bahwa hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A. Dengan demikian, hiwalah al-Mutlaqah hanya mengandung hiwalah al-Dains aja, karena yang di pindahkan hanya hutang C kepada A menjadi hutang C kepada B.
 Contoh hiwalah mutlaqah digambarkan dalam bagan:
Oval: Muhal  (A)
 



  
Oval: Muhal’alaih (C)Oval: Muhil (B) 


Keterangan:            Berhutang
                               Membayar hutang
2.      Hiwalah muqayyadah, yaitu seseorang memindahkan utang dan mengkaitkan dengan piutang yang ada padanya. Contoh: A berhutangkepada B sebesarRp. 5000.000,- Sedangkan B jugaberhutangkepada C sebesar Rp.5.000.000,- B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya menuntut hutang yang ada pada C, kepada A sebagai ganti dari pembayaran hutang B kepada A.[6]
Contoh hiwalah muqayyadah digambarkan dalam bagan:


Oval: Muhal  (A)
 





Oval: Muhal’alaih (C)Oval: Muhil (B) 
3.       



Keterangan:              Berhutang
                                  Membayar hutang

D.    Rukun Hiwalah
1.    Rukun hiwalah secara umum adalah:
a.       Orang yang berutang dan berpiutang (muhil).
b.      Orang yang berpiutang (muhtal).
c.       Orang yang berutang (muhal alaih).
d.      Utang muhil kepada muhtal.
e.       Utang muhtal alaih kepada muhil.
f.       Persetujuan antara muhtal dan muhil.
g.      Lafadz akad.[7]
2.      Sedangkan menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalah dengan yang menerima hiwalah.[8]
3.      Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat yaitu:
a.       muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
b.      Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil.
c.       Muhal’ alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
d.      Sighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dan qabul dari muhtal.[9]

E.     Syarat-syarat Hiwalah
Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
1.      Orang yang memindahkan utang adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah jika muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2.      Orang yang menerima hiwalah adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3.      Orang yang dihiwalahkan juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya.
4.      Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah:
1.      Relanya pihak muhil dan muhal.
2.      Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya.
3.      Stabilnya muhal’ alaih, maka penghiwalahan kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal.
4.      Hak tersebut diketahui secara jelas.[10]
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari malikiyah, syafiiyah dan hanabilah, rukun  hiwalahada 6 yaitu:
1.      Pihak pertama.
2.      Pihak kedua.
3.      Pihak ketiga.
4.      Utang pihak pertama kepada pihak kedua.
5.      Utang pihak ketiga kepada pihak pertama.
6.      Shigat.
Syarat-syarat pihak pertama yaitu:
·         Baliq dan berakal.
·         Ada pernyataan persetujuan
Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:
·         Baliq dan berakal.
·         Adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan  hiwalah, atas pertimbangan kebiasaan orang dalam membayar  hutang berbeda-beda.
Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:
·         Baliq dan berakal.
·         Menurut Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan dan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab lainya tidak mensyaratkan hal itu.
Syarat-syarat bagi muhalbih:
·         Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-piutang  yang sudah pasti.
·         Apabila penggalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
·         Ulama dari madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya.

F.     Beban Muhil setelah Hiwalah
Dalam buku fiqh sunnah, Sayyyid Sabiq mengatakan apabila hiwalah berjalan sah maka tanggung jawab muhil telah gugur dengan sendirinya. Seandainya muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia,  maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil hal ini menurut jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki bila muhil menipu muhal, bahwa muhal ’alaih ternyata orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali kepada muhil dan jika orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan dia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Syarih dan Utsman berpendapat bahwa jika keadaan muhal ‘alai hmengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka muhal kembali kepada muhil untukmenagihnya.[11]

G.    Berakhirnya Hiwalah
Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Karena dibatalkan atau fasakh.
Ini terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari muhal akan kembali lagi kepada muhil.
2.      Hilangnya hak muhal ’ alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.      Jika muhal ’alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal.
Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya muhal sementara Muhal ’alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan.
Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada muhal ’alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada muhal ’alaih.








KESIMPULAN

Hiwalah adalah suatu akad untuk memindahkan hutang dari seseorang kepada yang lainnya karena terikat oleh perjanjian atau persetujuan.
Dilihat dari segi akad hiwalah juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      hiwalah al-haqq
2.      hiwalah al-Dain
Dilihat dari segi yang lain Hanafi membedakan hiwalah ini menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      Hiwalah mutlaqah
2.      Hiwalah muqayyadah
Rukun hiwalah secara umum adalah:
a.       Orang yang berutang dan berpiutang (muhil).
b.      Orang yang berpiutang (muhtal).
c.       Orang yang berutang (muhal alaih).
d.      Utang muhil kepada muhtal.
e.       Utang muhtal alaih kepada muhil.
f.       Persetujuan antara muhtal dan muhil.
g.      Lafadz akad
Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Karena dibatalkan atau fasakh.
2.      Hilangnya hak muhal’ alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.      Jika muhal ’alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal.
4.      Meninggalnya muhal sementara Muhal ’alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada muhal ’alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada muhal ’alaih.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2004.
Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2009.
Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap.Jakarta: PT. RinekaCipta. 2004.
Idris, Ahmad. Fiqh al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah. 1986.
Sudarsono.Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2001.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.






[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) 99
[2]Ibid., 101
[3]Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001) 475.
[4]Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2004)
[5]Abdul Fatah Idrisdan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. RinekaCipta, 2004), 169.
[6]FiqhMuamalah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009), 153-154.
[7]Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, 478.
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 101.
[9] Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah,1986) 57-58.
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 102
[11] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar