Minggu, 09 November 2014

makalah ekonomi islam wadiah tititpan

WADI’AH (TITIPAN)
A.    Pendahuluan
Mualamah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong-menolong serta mempererat silaturahmi.
Namun dari beberapa tujuan muamalah tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalah tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalah tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Kesadaran muamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlakul karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku muamalah itu. Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu bahwa kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalah jual beli harus ada akad (ijab dan qabul). Dalam akad muamalah terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada, diantaranya adalah akad al-Wadi’ah, akad al-Wakalah dan al-Kafalah. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu bagian dari muamalah tersebut yaitu akad tentang Wadi’ah (titipan).[1]

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Menurut Hanafiyah, wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan isyarat. Misalnya, “Aku titipkan barang ini kepada engkau”, kemudian pihak lain menerimanya dengan jelas. Atau seseorang datang dengan membawa baju, kemudian baju itu diletakkan di atas tangan orang lain, dan ia berkata, “Aku titipkan baju ini kepada engkau”. Si penerima hanya diam dan menerima baju tersebut.
Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, wadi’ah adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau juga seekor anjing yang telah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak boleh menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk dalam kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang bertentangan dengan prinsip wadi’ah.[2]

2.      Dasar Hukum Wadi’ah
Hukum asal dari wadi’ah itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia. Landasan hukumnya di dalam al-Qur’an sebagai berikut.
a.       QS. An-Nisaa’: 58
 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ    
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”[3]

b.      QS. al-Baqarah: 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  

Artinya:
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[4]
 
3.      Rukun dan Syarat Wadi’ah
a.       Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur Ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1)    Orang yang berakad
2)    Barang titipan
3)    Sighat (ijab dan qobul)

b.      Syarat Wadi’ah
Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada pihak yang berakad, orang yang menitipkan barang (al-Muwaddi’), orang yang menerima titipan (al-wadi’) serta barang titipan (wadi’ah), dan Sighat (ijab dan qabul). Al-Muwaddi’ dan al-wadi’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang titipan disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.[5]
1)      Syarat-syarat benda yang dititipkan
a)      Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiah.
b)      Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
2)      Syarat Sighat
Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadi’ah (titipan).[6]
3)      Syarat orang yang menitipkan (al-Muwaddi’)
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
a)      Berakal
b)      Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian menurut Syafiiyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah apabila dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.
4)      Syarat orang yang dititipi (al-Wadi’)
a)      Berakal
b)      Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
c)      Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.

4.    Hukum Menerima Benda Titipan
Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
a)    Wajib
Bagi orang yang sanggup diserahi (dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)    Sunnah
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
c)    Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadap dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung jawabkannnya.

\

d)    Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat.[7]

5.      Macam-macam Wadi’ah
Ada dua macam wadi’ah, yaitu wadi’ah yad al amanah dan wadi’ah yad adl-dlamanah.
a)      Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah.
Dibawah prinsip yad al amanah ini, barang titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan barang tersebut tidak boleh dipergunakan dan penerima titipan tidak berhak untuk memanfaatkan barang titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad al amanah akan berubah menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini:
1)      Harta dalam titipan telah dicampur, dan
2)      Penerima menggunakan harta titipan.

b)      Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan dan kerusakan barang/harta tersebut. Konsekuensinya jika barang titipan itu dikelola pihak lain dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain.[8]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)      Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
2)      Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.

6.      Tata cara penjagaan barang yang dititipkan
a)      Menurut Hanafiyah
Barang tersebut harus dijaga sebagaimana harta kekayaan pribadi yang dimiliki, bisa dilakukan oleh diri pribadi penerima titipan, atau kepada keluarga dan kerabat yang berada dibawah kontrol dia.
b)      Menurut Malikiyah
Barang titipan hanya boleh dijaga oleh penerima titipan dan keluarga terdekatnya, yakni isteri dan anaknya, serta pembantu yang telah lama mengabdi kepadanya.
c)      Menurut Syafi’iyah
Barang titipan harus dijaga oleh diri pribadi penerima titipan, bukan orang lain. Karena penitip menitipkan barang kepada dirinya, bukan orang lain. Jika ingin dilimpahkan kepada keluarga dan kerabat, harus mendapatkan izin dari penitip.[9]

7.    Titipan dengan dan tanpa tanda bukti
a)      Menurut Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad:
Klaim tentang telah dikembalikannya barang titipan oleh pihak penerima barang tetap diakui meski tanpa ada tanda bukti dan meski saat penitipan dengan tanda bukti. Sebab, pihak penerima titipan, kali pertama telah memberikan kepercayaan dengan mau menerima titipan tersebut, artinya ia bisa dipercaya.
b)      Menurut Imam Malik
Dalam penitipan yang menggunakan tanda bukti, pengembalian barang tidak bisa diterima kecuali dengan tanda bukti juga. Sebab, banyak terjadi orang yang pada mulanya baik dan bisa dipercaya akhirnya juga berkhianat.[10]

8.      Titipan berupa baju atau ternak
a)      Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad
Orang (penerima titipan) yang sembrono memakai baju titipan yang kemudian mengembalikan tidak pada tempatnya, atau menaiki binatang titipan, maka bagi si empunya barang bisa meminta ganti rugi atau menarik upah atasnya.
Akan tetapi, menurut Imam Abdul Wahab, Imam Malik tidak memberi hukum lebih lanjut jika baju tersebut kemudian rusak setelah dikembalikan pada tempatnya semula. Imam Malik juga tidak memberi keputusan jika, misalnya orang tersebut yang memakai baju titipan tidak sampai kotor dan mengembalikan pada tempatnya.
Hanya saja, Imam Malik pernah menyatakan bahwa barang-barang yang tidak bisa ditimbang atau ditakar, seperti ternak atau baju, jika dikembalikan pada tempat asalnya setelah dipakai, yang bersangkutan tidak harus mengganti. Jika harus mengganti pun, ia mengganti dengan uang, bukan dengan barang yang sejenis.
b)      Menurut Abu Hanifah
Orang yang memakai barang titipan harus mengganti sesuai dengan aslinya, tapi ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan selanjutnya.[11]

9.      Menyerahkan barang titipan pada keluarga
a)      Menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad
Jika orang yang dititipi menyerahkan (mewakilkan) barang titipan kepada keluarganya sendiri yang wajib dinafkahi, ia tidak wajib memberi ganti rugi jika terjadi kerusakan, meski penyerahan barang tersebut dilakukan dengan tanpa udzur.
b)      Menurut Imam Syafi’i
Penyerahan barang titipan kepada orang lain, meski kepada keluarga sendiri, tetap mengharuskan adanya tanggung jawab, jika itu dilakukan dengan tanpa uzur.[12]

10.  Beralihnya Status Wadi’ah Yad al-Amanah Menjadi Yad adh-Dhamanah. Perubahan status ini terjadi apabila:
a)      Penerima titipan tidak menjaga asset sebagaimana mestinya, jika terjadi kerusakan, maka ia berkewajiban menggantinya.
b)      Ketika penerima titipan menitipkan kembali asset titipan bukan kepada keluarga atau orang yang diberi mandat untuk menjaganya, maka akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Artinya, penerima titipan berkewajiban mengganti ketika terjadi kerusakan. Ketika aset dilimpahkan kepada pihak kedua, dan terjadi kerusakan, maka yang bertanggung jawab adalah penerima titipan yang pertama, menurut Abu Hanifah dan Hanabilah.
c)      Ketika pihak kedua melakukan pengrusakan terhadap barang titipan, maka pemilik berhak memilih meminta ganti dari pihak pertama atau kedua. Jika pihak pertama berkenan untuk mengganti, maka ia memiliki hak untuk menerima ganti rugi dari pihak kedua. Namun, jika pihak kedua telah menggantinya, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi dari pihak pertama. Dengan alasan, pihak kedua-lah yang melakukan pengrusakan.
d)     Ketika penerima titipan memanfaatkan aset titipan, seperti mengendarai kendaraan yang dititipkan, maka akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ketika aset mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan, ia tetap harus mengganti karena ia telah berani untuk memanfaatkan aset tersebut.
e)      Jika penerima titipan mencampurkan aset titipan dengan aset pribadi, sehingga tidak dapat dibedakan diantara keduanya, maka status wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Jika aset tersebut berupa uang dan ia campur dengan uang pribadi, maka ia berkewajiban untuk menggantinya, karena ia telah menyalahi makna wadi’ah. Intinya, jika aset titipan dicampur dengan aset lain, sehingga sulit untuk dipisah dan dibedakan, maka penerima titipan bertanggung jawab untuk menggantinya.[13]

11.  Berakhirnya Akad Wadi’ah
a)      Bila salah satu pihak meninggal dunia.
b)      Bila salah satu pihak yang berakad itu gila.
c)      Kembalinya/diambilnya barang titipan oleh pemiliknya.
C.    Kesimpulan
1.      Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga.
2.      Menurut Jumhur Ulama’ rukun wadi’ah ada tiga yaitu: Orang yang berakad, Barang titipan dan Sighat (ijab dan qobul)
3.      Syarat wadi’ah mengikat kepada barang yang dititipkan, orang yang berakad dan sighat (ijab dan qabul). Orang yang memberi dan menerima titipan mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang titipan disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.
4.    Hukum Menerima Benda Titipan: Wajib, Sunnah, Makruh dan Haram.
5.      Macam-macam Wadi’ah
a)      Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah.
b)      Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah yad adl-dlamanah merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika barang titipan itu dikelola pihak lain dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain.
6.      Seputar hukum-hukum dalam wadi’ah menurut pendapat para Imam Madzhab mengenai Tata cara penjagaan barang yang dititipkan, Titipan dengan dan tanpa tanda bukti, Titipan berupa baju atau ternak dan Menyerahkan barang titipan pada keluarga.
7.      Beralihnya Status Wadi’ah Yad al-Amanah Menjadi Yad adh-Dhamanah.
8.      Berakhirnya akad Wadi’ah.



























DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer. Sistem Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Labib, Harniawati. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006.
Soleh, Achmad Khudari. Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi. Jakarta: PT. Pertja, 1999.
Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html.






[1]Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html. Diakses 05 Mei 2014.
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 173.
[3] Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 202.
[4] Ibid.
[5] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000), 200.
[6] Ibid., 250 dan 253.
[7] Harniawati Labib, Risalah Fiqih Islam (Surabaya: Bintang usaha Jaya, 2006), 773.
[8] Nasroen Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gema Media Pratama, 2007), 103.
[9] Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, 175.
[10] Achmad Khudari Soleh, Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi (Jakarta: PT. Pertja, 1999), 85.
[11] Ibid., 86.
[12] Ibid.
[13] Ibid., 176.WADI’AH (TITIPAN)
A.    Pendahuluan
Mualamah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong-menolong serta mempererat silaturahmi.
Namun dari beberapa tujuan muamalah tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalah tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalah tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Kesadaran muamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlakul karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku muamalah itu. Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu bahwa kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalah jual beli harus ada akad (ijab dan qabul). Dalam akad muamalah terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada, diantaranya adalah akad al-Wadi’ah, akad al-Wakalah dan al-Kafalah. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu bagian dari muamalah tersebut yaitu akad tentang Wadi’ah (titipan).[1]

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Menurut Hanafiyah, wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan isyarat. Misalnya, “Aku titipkan barang ini kepada engkau”, kemudian pihak lain menerimanya dengan jelas. Atau seseorang datang dengan membawa baju, kemudian baju itu diletakkan di atas tangan orang lain, dan ia berkata, “Aku titipkan baju ini kepada engkau”. Si penerima hanya diam dan menerima baju tersebut.
Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, wadi’ah adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau juga seekor anjing yang telah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak boleh menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk dalam kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang bertentangan dengan prinsip wadi’ah.[2]

2.      Dasar Hukum Wadi’ah
Hukum asal dari wadi’ah itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia. Landasan hukumnya di dalam al-Qur’an sebagai berikut.
a.       QS. An-Nisaa’: 58
 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ    
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”[3]

b.      QS. al-Baqarah: 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  

Artinya:
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[4]
 
3.      Rukun dan Syarat Wadi’ah
a.       Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur Ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1)    Orang yang berakad
2)    Barang titipan
3)    Sighat (ijab dan qobul)

b.      Syarat Wadi’ah
Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada pihak yang berakad, orang yang menitipkan barang (al-Muwaddi’), orang yang menerima titipan (al-wadi’) serta barang titipan (wadi’ah), dan Sighat (ijab dan qabul). Al-Muwaddi’ dan al-wadi’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang titipan disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.[5]
1)      Syarat-syarat benda yang dititipkan
a)      Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiah.
b)      Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
2)      Syarat Sighat
Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadi’ah (titipan).[6]
3)      Syarat orang yang menitipkan (al-Muwaddi’)
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
a)      Berakal
b)      Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian menurut Syafiiyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah apabila dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.
4)      Syarat orang yang dititipi (al-Wadi’)
a)      Berakal
b)      Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
c)      Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.

4.    Hukum Menerima Benda Titipan
Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
a)    Wajib
Bagi orang yang sanggup diserahi (dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)    Sunnah
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
c)    Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadap dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung jawabkannnya.

\

d)    Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat.[7]

5.      Macam-macam Wadi’ah
Ada dua macam wadi’ah, yaitu wadi’ah yad al amanah dan wadi’ah yad adl-dlamanah.
a)      Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah.
Dibawah prinsip yad al amanah ini, barang titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan barang tersebut tidak boleh dipergunakan dan penerima titipan tidak berhak untuk memanfaatkan barang titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad al amanah akan berubah menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini:
1)      Harta dalam titipan telah dicampur, dan
2)      Penerima menggunakan harta titipan.

b)      Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan dan kerusakan barang/harta tersebut. Konsekuensinya jika barang titipan itu dikelola pihak lain dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain.[8]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)      Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
2)      Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.

6.      Tata cara penjagaan barang yang dititipkan
a)      Menurut Hanafiyah
Barang tersebut harus dijaga sebagaimana harta kekayaan pribadi yang dimiliki, bisa dilakukan oleh diri pribadi penerima titipan, atau kepada keluarga dan kerabat yang berada dibawah kontrol dia.
b)      Menurut Malikiyah
Barang titipan hanya boleh dijaga oleh penerima titipan dan keluarga terdekatnya, yakni isteri dan anaknya, serta pembantu yang telah lama mengabdi kepadanya.
c)      Menurut Syafi’iyah
Barang titipan harus dijaga oleh diri pribadi penerima titipan, bukan orang lain. Karena penitip menitipkan barang kepada dirinya, bukan orang lain. Jika ingin dilimpahkan kepada keluarga dan kerabat, harus mendapatkan izin dari penitip.[9]

7.    Titipan dengan dan tanpa tanda bukti
a)      Menurut Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad:
Klaim tentang telah dikembalikannya barang titipan oleh pihak penerima barang tetap diakui meski tanpa ada tanda bukti dan meski saat penitipan dengan tanda bukti. Sebab, pihak penerima titipan, kali pertama telah memberikan kepercayaan dengan mau menerima titipan tersebut, artinya ia bisa dipercaya.
b)      Menurut Imam Malik
Dalam penitipan yang menggunakan tanda bukti, pengembalian barang tidak bisa diterima kecuali dengan tanda bukti juga. Sebab, banyak terjadi orang yang pada mulanya baik dan bisa dipercaya akhirnya juga berkhianat.[10]

8.      Titipan berupa baju atau ternak
a)      Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad
Orang (penerima titipan) yang sembrono memakai baju titipan yang kemudian mengembalikan tidak pada tempatnya, atau menaiki binatang titipan, maka bagi si empunya barang bisa meminta ganti rugi atau menarik upah atasnya.
Akan tetapi, menurut Imam Abdul Wahab, Imam Malik tidak memberi hukum lebih lanjut jika baju tersebut kemudian rusak setelah dikembalikan pada tempatnya semula. Imam Malik juga tidak memberi keputusan jika, misalnya orang tersebut yang memakai baju titipan tidak sampai kotor dan mengembalikan pada tempatnya.
Hanya saja, Imam Malik pernah menyatakan bahwa barang-barang yang tidak bisa ditimbang atau ditakar, seperti ternak atau baju, jika dikembalikan pada tempat asalnya setelah dipakai, yang bersangkutan tidak harus mengganti. Jika harus mengganti pun, ia mengganti dengan uang, bukan dengan barang yang sejenis.
b)      Menurut Abu Hanifah
Orang yang memakai barang titipan harus mengganti sesuai dengan aslinya, tapi ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan selanjutnya.[11]

9.      Menyerahkan barang titipan pada keluarga
a)      Menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad
Jika orang yang dititipi menyerahkan (mewakilkan) barang titipan kepada keluarganya sendiri yang wajib dinafkahi, ia tidak wajib memberi ganti rugi jika terjadi kerusakan, meski penyerahan barang tersebut dilakukan dengan tanpa udzur.
b)      Menurut Imam Syafi’i
Penyerahan barang titipan kepada orang lain, meski kepada keluarga sendiri, tetap mengharuskan adanya tanggung jawab, jika itu dilakukan dengan tanpa uzur.[12]

10.  Beralihnya Status Wadi’ah Yad al-Amanah Menjadi Yad adh-Dhamanah. Perubahan status ini terjadi apabila:
a)      Penerima titipan tidak menjaga asset sebagaimana mestinya, jika terjadi kerusakan, maka ia berkewajiban menggantinya.
b)      Ketika penerima titipan menitipkan kembali asset titipan bukan kepada keluarga atau orang yang diberi mandat untuk menjaganya, maka akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Artinya, penerima titipan berkewajiban mengganti ketika terjadi kerusakan. Ketika aset dilimpahkan kepada pihak kedua, dan terjadi kerusakan, maka yang bertanggung jawab adalah penerima titipan yang pertama, menurut Abu Hanifah dan Hanabilah.
c)      Ketika pihak kedua melakukan pengrusakan terhadap barang titipan, maka pemilik berhak memilih meminta ganti dari pihak pertama atau kedua. Jika pihak pertama berkenan untuk mengganti, maka ia memiliki hak untuk menerima ganti rugi dari pihak kedua. Namun, jika pihak kedua telah menggantinya, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi dari pihak pertama. Dengan alasan, pihak kedua-lah yang melakukan pengrusakan.
d)     Ketika penerima titipan memanfaatkan aset titipan, seperti mengendarai kendaraan yang dititipkan, maka akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ketika aset mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan, ia tetap harus mengganti karena ia telah berani untuk memanfaatkan aset tersebut.
e)      Jika penerima titipan mencampurkan aset titipan dengan aset pribadi, sehingga tidak dapat dibedakan diantara keduanya, maka status wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Jika aset tersebut berupa uang dan ia campur dengan uang pribadi, maka ia berkewajiban untuk menggantinya, karena ia telah menyalahi makna wadi’ah. Intinya, jika aset titipan dicampur dengan aset lain, sehingga sulit untuk dipisah dan dibedakan, maka penerima titipan bertanggung jawab untuk menggantinya.[13]

11.  Berakhirnya Akad Wadi’ah
a)      Bila salah satu pihak meninggal dunia.
b)      Bila salah satu pihak yang berakad itu gila.
c)      Kembalinya/diambilnya barang titipan oleh pemiliknya.
C.    Kesimpulan
1.      Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga.
2.      Menurut Jumhur Ulama’ rukun wadi’ah ada tiga yaitu: Orang yang berakad, Barang titipan dan Sighat (ijab dan qobul)
3.      Syarat wadi’ah mengikat kepada barang yang dititipkan, orang yang berakad dan sighat (ijab dan qabul). Orang yang memberi dan menerima titipan mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang titipan disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.
4.    Hukum Menerima Benda Titipan: Wajib, Sunnah, Makruh dan Haram.
5.      Macam-macam Wadi’ah
a)      Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah.
b)      Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah yad adl-dlamanah merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika barang titipan itu dikelola pihak lain dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain.
6.      Seputar hukum-hukum dalam wadi’ah menurut pendapat para Imam Madzhab mengenai Tata cara penjagaan barang yang dititipkan, Titipan dengan dan tanpa tanda bukti, Titipan berupa baju atau ternak dan Menyerahkan barang titipan pada keluarga.
7.      Beralihnya Status Wadi’ah Yad al-Amanah Menjadi Yad adh-Dhamanah.
8.      Berakhirnya akad Wadi’ah.



























DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer. Sistem Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Labib, Harniawati. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006.
Soleh, Achmad Khudari. Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi. Jakarta: PT. Pertja, 1999.
Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html.





[1]Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html. Diakses 05 Mei 2014.
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 173.
[3] Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 202.
[4] Ibid.
[5] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000), 200.
[6] Ibid., 250 dan 253.
[7] Harniawati Labib, Risalah Fiqih Islam (Surabaya: Bintang usaha Jaya, 2006), 773.
[8] Nasroen Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gema Media Pratama, 2007), 103.
[9] Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, 175.
[10] Achmad Khudari Soleh, Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi (Jakarta: PT. Pertja, 1999), 85.
[11] Ibid., 86.
[12] Ibid.
[13] Ibid., 176.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar