WADI’AH
(TITIPAN)
A.
Pendahuluan
Mualamah
merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata
cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang
bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk
saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong-menolong serta
mempererat silaturahmi.
Namun dari
beberapa tujuan muamalah tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak
masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalah tersebut. Diantaranya masih
banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalah tersebut. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari
dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran
yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Kesadaran muamalah
hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing sebelum orang terjun
ke dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman
agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlakul karimah dan pengetahuan tentang
seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku
muamalah itu. Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu
bahwa kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan
dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalah jual beli harus ada akad (ijab
dan qabul). Dalam akad muamalah terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada,
diantaranya adalah akad al-Wadi’ah, akad al-Wakalah dan al-Kafalah. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang salah satu bagian dari muamalah tersebut
yaitu akad tentang Wadi’ah (titipan).[1]
B.
Pembahasan
1. Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan
meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah
adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain
dengan tujuan untuk dijaga. Menurut Hanafiyah, wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu
barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan
isyarat. Misalnya, “Aku titipkan barang ini kepada engkau”, kemudian pihak lain
menerimanya dengan jelas. Atau seseorang datang dengan membawa baju, kemudian
baju itu diletakkan di atas tangan orang lain, dan ia berkata, “Aku titipkan
baju ini kepada engkau”. Si penerima hanya diam dan menerima baju tersebut.
Menurut
Syafi’iyah dan Malikiyah, wadi’ah
adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang
yang secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu. Untuk itu,
diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau juga seekor
anjing yang telah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak boleh
menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk dalam
kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang
bertentangan dengan prinsip wadi’ah.[2]
2. Dasar Hukum Wadi’ah
Hukum asal dari wadi’ah itu
adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain
harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong
antara sesama manusia. Landasan hukumnya di dalam al-Qur’an sebagai berikut.
a.
QS. An-Nisaa’: 58
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”[3]
b.
QS. al-Baqarah: 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya:
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang
siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[4]
3.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
a.
Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli
fiqh Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur Ulama mengemukakan
bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1) Orang yang berakad
2) Barang titipan
3) Sighat (ijab dan qobul)
b.
Syarat
Wadi’ah
Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada pihak yang berakad, orang
yang menitipkan barang (al-Muwaddi’),
orang yang menerima titipan (al-wadi’)
serta barang titipan (wadi’ah), dan Sighat (ijab dan qabul). Al-Muwaddi’ dan al-wadi’ mempunyai
persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang titipan disyaratkan
harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.[5]
1)
Syarat-syarat benda yang dititipkan
a)
Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa
disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara
atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah
tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti. Syarat ini
dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiah.
b)
Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan
harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun
najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga
keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang
tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
2)
Syarat Sighat
Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus
dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan
adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan
kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih: “Saya titipkan
barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan kepadaku mobil ini”.
Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan”
mengandung arti hibah dan wadi’ah
(titipan).[6]
3)
Syarat orang yang menitipkan (al-Muwaddi’)
Syarat
orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
a)
Berakal
b)
Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan
demikian menurut Syafiiyah, wadi’ah
tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi menurut
Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadi’ah
sehingga wadi’ah hukumnya sah apabila
dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.
4)
Syarat orang yang dititipi (al-Wadi’)
a) Berakal
b) Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh
Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat
untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
c) Malikiyah mensyaratkan orang yang
dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga barang yang dititipkan
kepadanya.
4. Hukum Menerima Benda Titipan
Menurut
keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
a)
Wajib
Bagi
orang yang sanggup diserahi (dititipi) oleh orang lain dan hanya dia
satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga,
apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)
Sunnah
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi
suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan
sebaik-baiknya.
c)
Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak
percaya terhadap dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan
baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung
jawabkannnya.
\
d)
Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak
sanggup untuk diserahi suatu amanat.[7]
5. Macam-macam Wadi’ah
Ada dua macam wadi’ah, yaitu wadi’ah
yad al amanah dan wadi’ah yad adl-dlamanah.
a) Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima
kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi
karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status
titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad
adl-dlamanah.
Dibawah prinsip yad al amanah
ini, barang titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan barang tersebut
tidak boleh dipergunakan dan penerima titipan tidak berhak untuk memanfaatkan
barang titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad al amanah akan berubah
menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah
apabila terjadi salah satu dari dua hal ini:
1)
Harta dalam titipan telah
dicampur, dan
2)
Penerima menggunakan harta
titipan.
b) Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh
pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta tersebut dan
pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk
mengembalikan titipan tersebut secara utuh dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan dan kerusakan barang/harta tersebut. Konsekuensinya jika barang
titipan itu dikelola pihak lain dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan
menjadi milik pihak lain.[8]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1)
Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat
dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
2)
Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan
tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada
keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si
penitip.
6. Tata cara penjagaan barang yang
dititipkan
a)
Menurut Hanafiyah
Barang
tersebut harus dijaga sebagaimana harta kekayaan pribadi yang dimiliki, bisa
dilakukan oleh diri pribadi penerima titipan, atau kepada keluarga dan kerabat
yang berada dibawah kontrol dia.
b)
Menurut Malikiyah
Barang
titipan hanya boleh dijaga oleh penerima titipan dan keluarga terdekatnya,
yakni isteri dan anaknya, serta pembantu yang telah lama mengabdi kepadanya.
c)
Menurut Syafi’iyah
Barang
titipan harus dijaga oleh diri pribadi penerima titipan, bukan orang lain.
Karena penitip menitipkan barang kepada dirinya, bukan orang lain. Jika ingin
dilimpahkan kepada keluarga dan kerabat, harus mendapatkan izin dari penitip.[9]
7. Titipan dengan dan tanpa tanda bukti
a) Menurut Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad:
Klaim tentang telah dikembalikannya barang
titipan oleh pihak penerima barang tetap diakui meski tanpa ada tanda bukti dan
meski saat penitipan dengan tanda bukti. Sebab, pihak penerima titipan, kali
pertama telah memberikan kepercayaan dengan mau menerima titipan tersebut,
artinya ia bisa dipercaya.
b)
Menurut Imam Malik
Dalam penitipan yang menggunakan tanda bukti,
pengembalian barang tidak bisa diterima kecuali dengan tanda bukti juga. Sebab,
banyak terjadi orang yang pada mulanya baik dan bisa dipercaya akhirnya juga
berkhianat.[10]
8. Titipan berupa baju atau ternak
a)
Menurut Imam Malik, Syafi’I
dan Ahmad
Orang (penerima titipan) yang sembrono memakai
baju titipan yang kemudian mengembalikan tidak pada tempatnya, atau menaiki
binatang titipan, maka bagi si empunya barang bisa meminta ganti rugi atau
menarik upah atasnya.
Akan tetapi, menurut Imam Abdul Wahab, Imam
Malik tidak memberi hukum lebih lanjut jika baju tersebut kemudian rusak
setelah dikembalikan pada tempatnya semula. Imam Malik juga tidak memberi keputusan
jika, misalnya orang tersebut yang memakai baju titipan tidak sampai kotor dan
mengembalikan pada tempatnya.
Hanya saja, Imam Malik pernah menyatakan bahwa
barang-barang yang tidak bisa ditimbang atau ditakar, seperti ternak atau baju,
jika dikembalikan pada tempat asalnya setelah dipakai, yang bersangkutan tidak
harus mengganti. Jika harus mengganti pun, ia mengganti dengan uang, bukan
dengan barang yang sejenis.
b)
Menurut Abu Hanifah
Orang yang memakai barang titipan harus
mengganti sesuai dengan aslinya, tapi ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan
selanjutnya.[11]
9. Menyerahkan barang titipan pada keluarga
a)
Menurut Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad
Jika orang yang dititipi menyerahkan
(mewakilkan) barang titipan kepada keluarganya sendiri yang wajib dinafkahi, ia
tidak wajib memberi ganti rugi jika terjadi kerusakan, meski penyerahan barang
tersebut dilakukan dengan tanpa udzur.
b)
Menurut Imam Syafi’i
Penyerahan barang titipan kepada orang lain,
meski kepada keluarga sendiri, tetap mengharuskan adanya tanggung jawab, jika
itu dilakukan dengan tanpa uzur.[12]
10. Beralihnya Status Wadi’ah Yad al-Amanah Menjadi Yad
adh-Dhamanah. Perubahan status ini terjadi apabila:
a)
Penerima titipan tidak
menjaga asset sebagaimana mestinya, jika terjadi kerusakan, maka ia berkewajiban
menggantinya.
b)
Ketika penerima titipan
menitipkan kembali asset titipan bukan kepada keluarga atau orang yang diberi mandat
untuk menjaganya, maka akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Artinya,
penerima titipan berkewajiban mengganti ketika terjadi kerusakan. Ketika aset
dilimpahkan kepada pihak kedua, dan terjadi kerusakan, maka yang bertanggung
jawab adalah penerima titipan yang pertama, menurut Abu Hanifah dan Hanabilah.
c)
Ketika pihak kedua melakukan
pengrusakan terhadap barang titipan, maka pemilik berhak memilih meminta ganti
dari pihak pertama atau kedua. Jika pihak pertama berkenan untuk mengganti,
maka ia memiliki hak untuk menerima ganti rugi dari pihak kedua. Namun, jika
pihak kedua telah menggantinya, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi dari
pihak pertama. Dengan alasan, pihak kedua-lah yang melakukan pengrusakan.
d)
Ketika penerima titipan
memanfaatkan aset titipan, seperti mengendarai kendaraan yang dititipkan, maka
akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah, ketika aset mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan, ia tetap
harus mengganti karena ia telah berani untuk memanfaatkan aset tersebut.
e)
Jika penerima titipan
mencampurkan aset titipan dengan aset pribadi, sehingga tidak dapat dibedakan
diantara keduanya, maka status wadi’ah
berubah menjadi yad adl-dlamanah.
Jika aset tersebut berupa uang dan ia campur dengan uang pribadi, maka ia
berkewajiban untuk menggantinya, karena ia telah menyalahi makna wadi’ah. Intinya, jika aset titipan
dicampur dengan aset lain, sehingga sulit untuk dipisah dan dibedakan, maka
penerima titipan bertanggung jawab untuk menggantinya.[13]
11. Berakhirnya Akad Wadi’ah
a)
Bila salah satu pihak
meninggal dunia.
b)
Bila salah satu pihak yang
berakad itu gila.
c)
Kembalinya/diambilnya barang
titipan oleh pemiliknya.
C.
Kesimpulan
1. Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan
meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah
adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain
dengan tujuan untuk dijaga.
2.
Menurut Jumhur Ulama’ rukun wadi’ah ada tiga yaitu: Orang yang berakad, Barang titipan dan Sighat (ijab dan qobul)
3.
Syarat wadi’ah mengikat kepada barang yang dititipkan, orang yang
berakad dan sighat (ijab dan qabul). Orang yang memberi dan menerima titipan mempunyai
persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang
titipan disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam
kekuasaan/tangannya secara nyata.
4.
Hukum Menerima Benda Titipan:
Wajib, Sunnah, Makruh dan Haram.
5.
Macam-macam Wadi’ah
a) Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima
kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi
karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status
titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad
adl-dlamanah.
b) Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah yad adl-dlamanah merupakan titipan barang/harta yang
dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta
tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan
menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si
pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika barang titipan itu dikelola pihak lain
dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain.
6.
Seputar hukum-hukum dalam wadi’ah menurut pendapat para Imam
Madzhab mengenai Tata
cara penjagaan barang yang dititipkan, Titipan dengan dan tanpa tanda bukti, Titipan berupa baju atau ternak dan Menyerahkan barang titipan pada
keluarga.
7.
Beralihnya Status Wadi’ah
Yad al-Amanah Menjadi Yad adh-Dhamanah.
8.
Berakhirnya akad Wadi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer. Sistem
Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Djuwaini,
Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Idris,
Abdul Fatah dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004.
Labib,
Harniawati. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006.
Soleh,
Achmad Khudari. Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi. Jakarta: PT.
Pertja, 1999.
Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html.
[1]Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html.
Diakses 05 Mei 2014.
[4] Ibid.
[5] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000),
200.
[9]
Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, 175.
[10] Achmad
Khudari Soleh, Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi (Jakarta: PT.
Pertja, 1999), 85.
[11] Ibid.,
86.
[12] Ibid.
A.
Pendahuluan
Mualamah
merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata
cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang
bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk
saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong-menolong serta
mempererat silaturahmi.
Namun dari
beberapa tujuan muamalah tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak
masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalah tersebut. Diantaranya masih
banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalah tersebut. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari
dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran
yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Kesadaran muamalah
hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing sebelum orang terjun
ke dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman
agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlakul karimah dan pengetahuan tentang
seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku
muamalah itu. Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu
bahwa kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan
dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalah jual beli harus ada akad (ijab
dan qabul). Dalam akad muamalah terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada,
diantaranya adalah akad al-Wadi’ah, akad al-Wakalah dan al-Kafalah. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang salah satu bagian dari muamalah tersebut
yaitu akad tentang Wadi’ah (titipan).[1]
B.
Pembahasan
1. Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan
meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah
adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain
dengan tujuan untuk dijaga. Menurut Hanafiyah, wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu
barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan
isyarat. Misalnya, “Aku titipkan barang ini kepada engkau”, kemudian pihak lain
menerimanya dengan jelas. Atau seseorang datang dengan membawa baju, kemudian
baju itu diletakkan di atas tangan orang lain, dan ia berkata, “Aku titipkan
baju ini kepada engkau”. Si penerima hanya diam dan menerima baju tersebut.
Menurut
Syafi’iyah dan Malikiyah, wadi’ah
adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang
yang secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu. Untuk itu,
diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau juga seekor
anjing yang telah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak boleh
menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk dalam
kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang
bertentangan dengan prinsip wadi’ah.[2]
2. Dasar Hukum Wadi’ah
Hukum asal dari wadi’ah itu
adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain
harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong
antara sesama manusia. Landasan hukumnya di dalam al-Qur’an sebagai berikut.
a.
QS. An-Nisaa’: 58
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”[3]
b.
QS. al-Baqarah: 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya:
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang
siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[4]
3.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
a.
Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli
fiqh Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur Ulama mengemukakan
bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1) Orang yang berakad
2) Barang titipan
3) Sighat (ijab dan qobul)
b.
Syarat
Wadi’ah
Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada pihak yang berakad, orang
yang menitipkan barang (al-Muwaddi’),
orang yang menerima titipan (al-wadi’)
serta barang titipan (wadi’ah), dan Sighat (ijab dan qabul). Al-Muwaddi’ dan al-wadi’ mempunyai
persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang titipan disyaratkan
harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.[5]
1)
Syarat-syarat benda yang dititipkan
a)
Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa
disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara
atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah
tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti. Syarat ini
dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiah.
b)
Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan
harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun
najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga
keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang
tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
2)
Syarat Sighat
Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus
dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan
adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan
kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih: “Saya titipkan
barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan kepadaku mobil ini”.
Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan”
mengandung arti hibah dan wadi’ah
(titipan).[6]
3)
Syarat orang yang menitipkan (al-Muwaddi’)
Syarat
orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
a)
Berakal
b)
Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan
demikian menurut Syafiiyah, wadi’ah
tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi menurut
Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadi’ah
sehingga wadi’ah hukumnya sah apabila
dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.
4)
Syarat orang yang dititipi (al-Wadi’)
a) Berakal
b) Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh
Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat
untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
c) Malikiyah mensyaratkan orang yang
dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga barang yang dititipkan
kepadanya.
4. Hukum Menerima Benda Titipan
Menurut
keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
a)
Wajib
Bagi
orang yang sanggup diserahi (dititipi) oleh orang lain dan hanya dia
satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga,
apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)
Sunnah
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi
suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan
sebaik-baiknya.
c)
Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak
percaya terhadap dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan
baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung
jawabkannnya.
\
d)
Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak
sanggup untuk diserahi suatu amanat.[7]
5. Macam-macam Wadi’ah
Ada dua macam wadi’ah, yaitu wadi’ah
yad al amanah dan wadi’ah yad adl-dlamanah.
a) Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima
kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi
karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status
titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad
adl-dlamanah.
Dibawah prinsip yad al amanah
ini, barang titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan barang tersebut
tidak boleh dipergunakan dan penerima titipan tidak berhak untuk memanfaatkan
barang titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad al amanah akan berubah
menjadi wadi’ah yad adl-dlamanah
apabila terjadi salah satu dari dua hal ini:
1)
Harta dalam titipan telah
dicampur, dan
2)
Penerima menggunakan harta
titipan.
b) Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh
pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta tersebut dan
pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk
mengembalikan titipan tersebut secara utuh dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan dan kerusakan barang/harta tersebut. Konsekuensinya jika barang
titipan itu dikelola pihak lain dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan
menjadi milik pihak lain.[8]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1)
Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat
dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
2)
Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan
tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada
keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si
penitip.
6. Tata cara penjagaan barang yang
dititipkan
a)
Menurut Hanafiyah
Barang
tersebut harus dijaga sebagaimana harta kekayaan pribadi yang dimiliki, bisa
dilakukan oleh diri pribadi penerima titipan, atau kepada keluarga dan kerabat
yang berada dibawah kontrol dia.
b)
Menurut Malikiyah
Barang
titipan hanya boleh dijaga oleh penerima titipan dan keluarga terdekatnya,
yakni isteri dan anaknya, serta pembantu yang telah lama mengabdi kepadanya.
c)
Menurut Syafi’iyah
Barang
titipan harus dijaga oleh diri pribadi penerima titipan, bukan orang lain.
Karena penitip menitipkan barang kepada dirinya, bukan orang lain. Jika ingin
dilimpahkan kepada keluarga dan kerabat, harus mendapatkan izin dari penitip.[9]
7. Titipan dengan dan tanpa tanda bukti
a) Menurut Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad:
Klaim tentang telah dikembalikannya barang
titipan oleh pihak penerima barang tetap diakui meski tanpa ada tanda bukti dan
meski saat penitipan dengan tanda bukti. Sebab, pihak penerima titipan, kali
pertama telah memberikan kepercayaan dengan mau menerima titipan tersebut,
artinya ia bisa dipercaya.
b)
Menurut Imam Malik
Dalam penitipan yang menggunakan tanda bukti,
pengembalian barang tidak bisa diterima kecuali dengan tanda bukti juga. Sebab,
banyak terjadi orang yang pada mulanya baik dan bisa dipercaya akhirnya juga
berkhianat.[10]
8. Titipan berupa baju atau ternak
a)
Menurut Imam Malik, Syafi’I
dan Ahmad
Orang (penerima titipan) yang sembrono memakai
baju titipan yang kemudian mengembalikan tidak pada tempatnya, atau menaiki
binatang titipan, maka bagi si empunya barang bisa meminta ganti rugi atau
menarik upah atasnya.
Akan tetapi, menurut Imam Abdul Wahab, Imam
Malik tidak memberi hukum lebih lanjut jika baju tersebut kemudian rusak
setelah dikembalikan pada tempatnya semula. Imam Malik juga tidak memberi keputusan
jika, misalnya orang tersebut yang memakai baju titipan tidak sampai kotor dan
mengembalikan pada tempatnya.
Hanya saja, Imam Malik pernah menyatakan bahwa
barang-barang yang tidak bisa ditimbang atau ditakar, seperti ternak atau baju,
jika dikembalikan pada tempat asalnya setelah dipakai, yang bersangkutan tidak
harus mengganti. Jika harus mengganti pun, ia mengganti dengan uang, bukan
dengan barang yang sejenis.
b)
Menurut Abu Hanifah
Orang yang memakai barang titipan harus
mengganti sesuai dengan aslinya, tapi ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan
selanjutnya.[11]
9. Menyerahkan barang titipan pada keluarga
a)
Menurut Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad
Jika orang yang dititipi menyerahkan
(mewakilkan) barang titipan kepada keluarganya sendiri yang wajib dinafkahi, ia
tidak wajib memberi ganti rugi jika terjadi kerusakan, meski penyerahan barang
tersebut dilakukan dengan tanpa udzur.
b)
Menurut Imam Syafi’i
Penyerahan barang titipan kepada orang lain,
meski kepada keluarga sendiri, tetap mengharuskan adanya tanggung jawab, jika
itu dilakukan dengan tanpa uzur.[12]
10. Beralihnya Status Wadi’ah Yad al-Amanah Menjadi Yad
adh-Dhamanah. Perubahan status ini terjadi apabila:
a)
Penerima titipan tidak
menjaga asset sebagaimana mestinya, jika terjadi kerusakan, maka ia berkewajiban
menggantinya.
b)
Ketika penerima titipan
menitipkan kembali asset titipan bukan kepada keluarga atau orang yang diberi mandat
untuk menjaganya, maka akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Artinya,
penerima titipan berkewajiban mengganti ketika terjadi kerusakan. Ketika aset
dilimpahkan kepada pihak kedua, dan terjadi kerusakan, maka yang bertanggung
jawab adalah penerima titipan yang pertama, menurut Abu Hanifah dan Hanabilah.
c)
Ketika pihak kedua melakukan
pengrusakan terhadap barang titipan, maka pemilik berhak memilih meminta ganti
dari pihak pertama atau kedua. Jika pihak pertama berkenan untuk mengganti,
maka ia memiliki hak untuk menerima ganti rugi dari pihak kedua. Namun, jika
pihak kedua telah menggantinya, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi dari
pihak pertama. Dengan alasan, pihak kedua-lah yang melakukan pengrusakan.
d)
Ketika penerima titipan
memanfaatkan aset titipan, seperti mengendarai kendaraan yang dititipkan, maka
akad wadi’ah berubah menjadi yad adl-dlamanah. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah, ketika aset mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan, ia tetap
harus mengganti karena ia telah berani untuk memanfaatkan aset tersebut.
e)
Jika penerima titipan
mencampurkan aset titipan dengan aset pribadi, sehingga tidak dapat dibedakan
diantara keduanya, maka status wadi’ah
berubah menjadi yad adl-dlamanah.
Jika aset tersebut berupa uang dan ia campur dengan uang pribadi, maka ia
berkewajiban untuk menggantinya, karena ia telah menyalahi makna wadi’ah. Intinya, jika aset titipan
dicampur dengan aset lain, sehingga sulit untuk dipisah dan dibedakan, maka
penerima titipan bertanggung jawab untuk menggantinya.[13]
11. Berakhirnya Akad Wadi’ah
a)
Bila salah satu pihak
meninggal dunia.
b)
Bila salah satu pihak yang
berakad itu gila.
c)
Kembalinya/diambilnya barang
titipan oleh pemiliknya.
C.
Kesimpulan
1. Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan
meninggalkan atau titipan. Secara istilah, wadi’ah
adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain
dengan tujuan untuk dijaga.
2.
Menurut Jumhur Ulama’ rukun wadi’ah ada tiga yaitu: Orang yang berakad, Barang titipan dan Sighat (ijab dan qobul)
3.
Syarat wadi’ah mengikat kepada barang yang dititipkan, orang yang
berakad dan sighat (ijab dan qabul). Orang yang memberi dan menerima titipan mempunyai
persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara barang
titipan disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam
kekuasaan/tangannya secara nyata.
4.
Hukum Menerima Benda Titipan:
Wajib, Sunnah, Makruh dan Haram.
5.
Macam-macam Wadi’ah
a) Wadi’ah Yad al Amanah
Wadi’ah yad al amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima
kepercayaan, artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali bila hal itu terjadi
karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status
titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad
adl-dlamanah.
b) Wadi’ah Yad adl-Dlamanah
Wadi’ah yad adl-dlamanah merupakan titipan barang/harta yang
dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain untuk memelihara barang/harta
tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan
menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si
pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika barang titipan itu dikelola pihak lain
dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain.
6.
Seputar hukum-hukum dalam wadi’ah menurut pendapat para Imam
Madzhab mengenai Tata
cara penjagaan barang yang dititipkan, Titipan dengan dan tanpa tanda bukti, Titipan berupa baju atau ternak dan Menyerahkan barang titipan pada
keluarga.
7.
Beralihnya Status Wadi’ah
Yad al-Amanah Menjadi Yad adh-Dhamanah.
8.
Berakhirnya akad Wadi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer. Sistem
Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Djuwaini,
Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Idris,
Abdul Fatah dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004.
Labib,
Harniawati. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006.
Soleh,
Achmad Khudari. Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi. Jakarta: PT.
Pertja, 1999.
Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html.
[1]Http://muamalah-10.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqh-muamalah-wadiah.html.
Diakses 05 Mei 2014.
[4] Ibid.
[5] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000),
200.
[9]
Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, 175.
[10] Achmad
Khudari Soleh, Fiqh Kontekstual: Perspektif Sufi-Falsafi (Jakarta: PT.
Pertja, 1999), 85.
[11] Ibid.,
86.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,
176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar