Kamis, 15 Januari 2015

“Kompetensi siswa tunagrahita ringan dalam kegiatan pembelajaran di SLB PERTIWI PONOROGO Tahun Pelajaran 2014 - 2015”

A.    Judul penelitian
          “Kompetensi siswa tunagrahita ringan dalam kegiatan pembelajaran di SLB PERTIWI PONOROGO Tahun Pelajaran 2014 - 2015”
B.     Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problematika dalam belajar, hanya saja problem tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan. Namun ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with special needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar. Namun ketika mereka diinteraksikan bersama-sama dengan anak- anak sebaya lainnya dalam sistem pendidikan reguler, ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.[1]
Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asal-usul, status sosial ekonomi, maupun keadaan fisik seseorang, termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak anak untuk memperoleh pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak yang berkebutuhan khusus. Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya.[2] Setidaknya, sebagai negara yang mempunyai UUD tentang hak setiap anak untuk memperoleh pengajaran, pemerintah selayaknya lebih memperhatikan anak yang dalam proses belajarnya lebih sulit menerima pelajaran sehingga mereka akan lebih termotivasi dalam menjalani hidup mereka. Dengan mengembangkan sekolah/lembaga luar biasa yang nantinya akan sangat membantu dalam proses belajar anak berkebutuhan khusus.
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing–masing. Dalam penyusunan progam pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya. Data pribadi tersebut berkaitan dengan karateristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembangannya. Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan sensori motor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial serta kreativitasnya.
Dalam memahami anak luar biasa atau psikologi anak luar biasa ini diperlukan pemahaman kecacatan dan akibat-akibat dari kecacatan yang terjadi kepada anak/penderita. Pengertian cacat yaitu anak yang pertumbuhan dan perkembangannya mengalami penyimpangan baik fisik, mental, dan emosi serta sosialnya bila dibandingkan dengan anak lain sebayanya.[3]Jenis cacat dikelompokkan menjadi lebih khusus lagi, antara lain; tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras.[4]
Lingkungan masyarakat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang. Begitu juga dengan tingkah laku seseorang dipengaruhi pula oleh nilai-nilai tata kehidupan masyarakat. Karena itu, pemerintah dan lembaga sosial bersikap positif terhadap anak berkelainan, sehingga mempengaruhi masyarakat dan lingkungan perhatiannya terhadap anak berkelainan. Kecenderungan masyarakat ini ternyata membawa peningkatan dari kehidupan anak berkelainan di Indonesia. Mengingat kehidupan yang sudah begitu kompleks akibat kebudayan dalam masyarakat kota besar, maka sesuai dengan kondisi anak berkelainan lebih dibina dan dikembangkan dalam masyarakat pedesaan. Hal ini akan mengurangi resiko dan hambatan pengembangan sosial anak berkelainan.[5]
C.    Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada kompetensi siswa berkebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran yang meliputi: kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik di SLB PERTIWI PONOROGO TAHUN PELAJARAN 2014-2015.
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.        Bagaimana kompetensi kognitif siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO?
2.        Bagaimana kompetensi psikomotorik siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO?
3.        Bagaimana kompetensi afektif siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO?
E.     Tujuan Penelitian
1.    Untuk mendeskripsikan kompetensi kognitif siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO.
2.    Untuk mendeskripsikan kompetensi psikomotorik siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO.
3.    Untuk mendeskripsikan kompetensi afektif siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO.
F.     Manfaat Penelitian
1.      Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pendidikan, khususnya psikologi anak, dan bimbingan dan Konseling (BK).
2.      Secara Praktis
a.       Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengalaman untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita ringan.
b.      Bagi Lembaga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi secara praktis sebagai pengembangan kurikulum, dan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam hal untuk mencapai tujuan pembelajaran.
c.       Bagi guru     
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan guru dapat mengembangkan kemampuan siswa tunagrahita ringan sehingga dapat bersaing di dunia luar khususnya pendidikan.
d.      Bagi peneliti 
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan pengalaman dalam menyusun dan mengembangkan pengetahuan tentang kemampuan siswa tunagrahita ringan.
e.       Bagi pihak lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai sumber informasi, menambah pengetahuan ilmiah tentang kompetensi anak tunagrahita ringan dalam kegiatan pembelajaran di SLB PERTIWI PONOROGO tahun pelajaran 2011-2012.
G. Kajian teori
1.               Siswa Berkebutuhan Khusus
a.      Hakikat siswa Berkebutuhan Khusus
Dalam memahami anak berkebutuhan khusus atau disebut dengan anak luar biasa diperlukan pemahaman kecacatan dan akibat-akibat dari kecacatan yang terjadi pada anak/penderita. Pengertian cacat yaitu anak yang pertumbuhan dan perkembangannya mengalami penyimpangan baik fisik mental dan emosi serta sosialnya bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya[6]. Sehingga sering menimbulkan akibat hambatan tingkah laku sikap dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.[7]
b.      Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Untuk mengetahui golongan, jenis dan tingkatan anak luar biasa baik dari segi fisik, mental, sosial perlu kita perhatikan penjelasan di bawah ini.
1)         Kelainan fisik (Physically handicapped)
Yaitu cacat pada anggota tubuh, tangan, kaki, indra dan urat-urat saraf yang mengalami kerusakan atau kekurangsempurnaan atau organ tubuh itu tidak berfungsi.
       Adapun yang dapat dikelompokkan dalam cacat/kelainan fisik adalah :
a)         Tunanetra yaitu kecacatan pada indera mata baik yang buta total (totally blind)  atau yang buta sebagian (partialy blind) sehingga tidak mampu menyamai mata normal walau dengan alat bantu.
b)         Tunarungu wicara yaitu tuna yang sering disebut tuli-bisu. Alat pendengarnya terutama membran tympani (gendangan) mengalami kerusakan akibatnya tidak pernah mendengar hingga tak punya kesan bahasa sama sekali maka ia bisu akibat ketuliannya.
c)         Tunadaksa atau lebih dikenal dengan cacat tubuh. Yaitu kecacatan pada bagian-bagian tubuh seperti tangan, kaki, pinggul atau tulang belakang.
2)         Kelainan mental (Mentally handicapped)
Yaitu kelainan pada aspek psikisnya, misalnya intelligensinya di bawah atau di atas normal, berbakat superior genius (Gifted Talented), takut pada hal-hal tertentu dan sebagainya. Kecacatan ini berhubungan erat dengan intelligensi maka klasifikasinya berdasar kemampuan intelligensinya. Secara garis besar kelainan mental ini dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu:
a)         Super normal
Ialah orang yang mempunyai kemampuan berfikir cemerlang yang juga sering disebut genius.
b)         Sub normal
Yaitu orang yang memiliki kemampuan berfikir di bawah normal. Disebut juga tunagrahita, lemah ingatan, terbelakang mental atau slow learner artinya lambat belajar.[8]
c.       Siswa Tunagrahita
1)      Hakikat siswa tunagrahita
Siswa tunagrahita atau keterbelakangan mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangannya yang optimal. [9]
2)      Karakteristik Siswa Tunagrahita
Alfred Binet sebagaimana dikutip oleh Sutjihati Somantri, dalam memahami anak tunagrahita kita bisa menggunakan konsep Mental Age (MA), Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Misalnya anak yang mempunyai usia enam tahun akan mempunyai kemampuan yang sepadan dengan kemampuan anak usia enam tahun pada umumnya. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umumnya (Cronology Age) maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan diatas rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah dari pada CA secara jelas. MA dipandang sebagai indeks dari perkembangan kognitif seorang anak
3)      Klasifikasi anak tunagrahita
Anak Tunagrahita diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1)      Tunagrahita ringan (debil)
Kelompok ini memiliki IQ antara 68 sampai 52 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler memiliki IQ 69 sampai 55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Namun demikian anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian secara independent, ia tidak dapat merencanakan masa depan dan suka berbuat kesalahan.
Pada umumnya, anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik.  Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu, agak sulit membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal.
2)      Tunagrahita sedang (imbesil)
Kelompok ini memiliki IQ antara 51 sampai 36 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler memiliki IQ 54 sampai 40. Mereka masih dapat dididik mengurus diri sendiri, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung. Dalam pengawasan sehari-hari anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
3)      Tunagrahita berat (idiot)
Kelompok ini memiliki IQ antara 32 sampai 20 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler memiliki IQ 39 sampai 25. Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala weschler.
Mereka memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindunagn dari bahaya sepanjang hidupnya.[10]

2.      Kegiatan Pembelajaran
a.      Belajar
Belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik/penguatan yang dilandasi dengan tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.[11]
Definisi belajar menurut beberapa para ahli yaitu :
1)         Witherington, dalam buku educational psycology mengemukakan: “belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang  menyatakan diri sebagai suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dan reaksi yang  berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian”
2)         Gagne, dalam buku The Conditions of Learning (1977) menyatakan bahwa: “Belajar akan terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa stimulus bersama dengan isi ingatan  mempengarui siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (Performancenya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia mengalami situasi tadi”
3)         Menurut Charles E Skinner: “bahwa belajar adalah proses penyesuaian tingkah laku ke arah yang lebih maju”
b.      Fase–fase dalam proses belajar
Setiap proses belajar di pandang sebagai rangkaian sejumlah sub proses yang masing-masing memegang peranan terbatas dalam keseluruhan proses belajar. Pandangan ini bersumber pada teori pengolahan informasi. Salah satu teori mengembangkan suatu model yang mengandaikan sejumalah satuan structural yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Adapun satuan-satuan setruktular berserta fungsinya adalah sebagai berikut:
                                       1)         Dari lingkungan di sekitarnya, subyek menerima rangsangan-rangsangan yang di tampung oleh alat-alat indra yang mengolah konstelasi rangsangan itu, sehingga menjadi rangsang terhadap system urat saraf. Rangsang itu di salurkan melalui system urat saraf sebagai maasukan (informasi) bagi structural berikutnya.
                                       2)         Masukan di tampung dalam pusat penampungan kesan-kesan sensoris dan tinggal di situ selama periode waktu sangat singkat. Semua kesan sensoris yang berasal dari berbagai alat indra, di olah sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pola yang serasi atau masuk akal.
                                       3)         Pola perceptual ini masuk kedalam ingatan jangka waktu singkat dan tinggal di situ selama lebih kurang 20 detik, kecuali bila informasi yang masuk itu ditahan lebih lama melalui suatu proses penyimpanan, seolah-olah diputar putarkan sendiri.
                                       4)         Ingatan jangka waktu lama menampung informasi dalam bentuk organisasi yang telah di hasilkan dan menyimpannya untuk jangka waktu lama.
c.       Hasil Belajar
       Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah mengikuti kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan prilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran/ kegiatan instruksional, tujuan belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil dalam belajar ialah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-tujuan instruksional.[12]
       Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, mengunakan klasifikasi hasil belajar dari benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah yaitu:
a)      Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat renadah dan keempata aspek berikutnya termasuk aspek kognitif tingkat tinggi
b)      Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c)      Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik yaitu a) gerakan reflek, b) ketrampilan gerakan dasar, c) kemapuan perseptual, d) keharmonisan atau ketepatan, e) gerakan ketrampilan kompleks, dan f) gerakan ekpresif dan interpretatif.
3.      Hasil Belajar siswa tunagrahita
a.      Kompetensi Kognitif siswa tunagrahita
Pengaruh John Piaget terhadap pendidikan dan psikologi sangat dalam, terlebih-lebih pada masa dua dekade terakhir. Oleh karenanya teori piaget tentang perkembangan kognitif anak-anak berkelainan saat ini telah menjadi konsep pendidikan yang tidak dapat diabaikan. Teori Piaget menetapkan kerangka kerja fungsional untuk melakukan tinjauan terhadap perkembangan kognitif perseorangan yang mempunyai hambatan dalam perkembangan mental, sosial, fisik dan inteligensi.[13]
Menurut Zigler sebagaimana dikutip oleh Sutjihati Soemantri, para ahli psikologi perkembangan umumnya beranggapan bahwa jika siswa tunagrahita dibandingkan dengan siswa normal yang mempunyai Mental Age (MA) yang sama secara teoritis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama.[14] Pendapat seperti itu tidak seluruhnya benar sebab ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa siswa tunagrahita yang memiliki MA yang sama dengan siswa normal tidak memiliki keterampilan kognitif yang sama. Siswa normal tetap memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul daripada siswa tunagrahita. Siswa normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah, sedangkan siswa tunagrahita bersifat error.[15]
b.      Kompetensi Afektif siswa tunagrahita
Perkembangan dorongan dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang anak. Siswa tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri, mereka tidak bisa menunjukkan rasa haus atau lapar dan tidak bisa mnghindari bahaya. Pada siswa tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang sederhana.
Pada siswa terbelakang mental ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan siswa normal, akan tetapi tidak sekaya siswa normal. Siswa tunagrahita ringan dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman.[16]
c.       Kompetensi Psikomotorik siswa tunagrahita
Fungsi-fungsi perkembangan siswa tunagrahita itu ada yang tertinggal jauh oleh siswa normal. Ada pula yang sama atau hampir menyamai siswa normal. Di antara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai siswa normal ialah fungsi perkembangan jasmani dan motorik.
Perkembangan jasmani dan motorik siswa tunagrahita tidak secepat perkembangan siswa normal. Umardjani Martasuta sebagaimana dikutip oleh Sutjihati Somantri, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani siswa terbelakangan mental atau tunagrahita yang memiliki MA 2 tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali, sedangkan siswa normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang.[17]
H.  Telaah terdahulu
   Berdasarkan penelitian terdahulu, yaitu penelitian dari saudara Ahmad Mudhafar Halimi yang berjudul “Implementasi Pendidikan Individual dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi Siswa Tunagrahita Ringan Sekolah Luar Biasa “Putra idhata” Dolopo Madiun”.
Rumusan masalah sebagai berikut: 1) Mengapa pendekatan individual dipergunakan dalam pembelajaran PAI bagi siswa tunagrahita ringan SLB “Putra Idhata” Dolopo Madiun?, 2) Bagaimana langkah-langkah penerapan pendekatan individual dalam pembelajaran PAI bagi siswa tunagrahita ringan SLB “ Putra Idhata” Dolopo Madiun?, 3) Bagaimana pemahaman siswa tunagrahita ringan SLB “Putra Idhata” Dolopo Madiun tentang PAI setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan individual?
Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : latar belakang diterapkannya pendekatan individual dalam pembelajaran PAI bagi siswa tunagrahita ringan SLB “Putra Idhata” Dolopo Madiun adalah bahwa pendekatan individual dianggap sebagai pendekatan yang paling efektif, dengan pendekatan individual siswa tunagrahita ringan akan banyak terbantu dalam menyerap PAI, pendekatan individual banyak membantu guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan agar siswa tunagrahita ringan mampu melaksanakan kewajiban-kewajibanya sebagai seorang muslim. Adapun langkah-langkah pendekatan individual yang diterapkan ada dua bagian, yaitu bagian pra pembelajaran dan proses pembelajaran. Bagian pertama langkah-langkahnya adalah mengetahui dan memahami sifat dan karakter masing-masing siswa, dan memilih bahan/materi yang sesuai dengan kemampuan siswa. Sedangkan bagian kedua langkah-langkahnya meliputi persiapan, penyampaian materi PAI secara klasikal, bimbingan individual, dan evaluasi.Sedangkan kendala dalam melaksanakan langkah-langkah itu adalah waktunya terbatas dan kemampuan siswa tunagrahita ringan juga terbatas. Dengan mengimplementasikan pendekatan individual dalam pembelajaran PAI, pemahaman siswa tunagrahita ringan tentang PAI lebih berkembang, karena siswa lebih terbantu dengan bimbingan individual guru dalam belajar.
I.       Metodologi Penelitian
1.         Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif juga memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, di samping hasil proses lebih dipentingkan, analisis dalam penelitian kualitatif  cenderung dilakukan secara analisa induktif, dan makna merupakan hal yang esensial.[18]
Ada enam macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu etnografi, studi kasus, teori grounded, penelitian interaksi, penelitian ekologikal, dan penelitian masa depan.[19]
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari secara intensif mengenai kompetensi anak tunagrahita ringan dalam kompetensi bidang akademik. Dalam penelitian ini akan dilakukan secara intensif mengenai kompetensi siswa berkebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran, langkah-langkah guru dalam proses pembelajaran, dan upaya lembaga yang terdapat di dalamnya.
2.         Kehadiran Peneliti
Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.[20] Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, yaitu peneliti sebagai pengumpul data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.
3.         Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di SLB PERTIWI PONOROGO, karena SDLB merupakan sekolah khusus untuk anak-anak luar biasa yang mana telah mempunyai kualitas pendidikan yang sudah diakui oleh negara. Jika sekolah luar biasa pada umumnya untuk semua golongan anak luar biasa mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), di SDLB Negeri Badegan ini lebih difokuskan hanya untuk jenjang SD sehingga sesuai dengan jurusan peneliti yaitu PGMI/PGSD yang nantinya bisa sesuai dengan apa yang akan diteliti.
4.         Data dan Sumber Data
Data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lainnya. Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan sebagai sumber data utama, sedangkan sumber data tertulis, foto, dan statistik adalah sebagai sumber data tambahan.[21]
Sumber data primer penelitian ini yaitu person atau orang yang berlaku sebagai informan, yang meliputi kepala sekolah, waka kurikulum, dan guru kelas tunagrahita ringan. Sumber data sekunder adalah paper meliputi sumber data tertulis dalam bentuk dokumen sekolah dan buku-buku, dan place yaitu di SDLB PERTIWI PONOROGO.
5.         Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti memilih beberapa metode, yaitu interview atau wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik ini menjadi pilihan utama karena dalam penelitian kualitatif, fenomena maknanya dapat dimengerti secara baik apabila dilakukan interaksi dengan subjek melalui wawancara mendalam, observasi pada latar di mana fenomena tersebut berlangsung dan dilengkapi  dengan dokumentasi.
a)        Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dan seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.[22] Wawancara ada bermacam-macam diantaranya adalah: a). Wawancara pembicaraan informal, b). Menggunakan pendekatan umum wawancara, c). Wawancara terbuka.[23] Di samping itu juga ada macam-macam wawancara yang lain: a). Wawancara oleh tim panel, b). Wawancara tertutup dan terbuka, c). Wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.
b)       Observasi
Observasi adalah aktivitas untuk memperhatikan sesuatu dengan menggunakan alat panca indera, yaitu melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap.[24] Dalam penelitian kualitatif observasi diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: 1). Pengamat dapat bertindak sebagai seorang pertisipan atau non partisipan, 2). Observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaran, 3). Observasi yang menyangkut latar penelitian.[25]
c)        Dokumentasi
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. Rekaman sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan  dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenuhi accounting.[26] Dokumen digunakan dengan tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto, dan sebagainya.
6.         Analisis Data
Teknik analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Milles dan Hubberman Spradley. Milles dan Hubberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas. Adapun langkah-langkah analisis sebagai berikut:  [27]
 



Oval: Conclusion Drawing (Verivication)
(Verivication)
Oval: Data Reduction
Reduction






(1)      Reduksi Data (data reduction)
Mereduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang penting, membuat kategori. Dengan demikian data yang telah direduksi  memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
(2)     Penyajian data (data display)
Penyajian data adalah menyajikan data sesuai dengan rumusan masalah ke dalam pola yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network dan chart. Dengan menyajikan data akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan  kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
(3)     Verifikasi (Verification)
Langkah yang terakhir dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan interaktif, hipotesis atau teori.
7.         Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep keaslian (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Derajat keabsahan data (kredibilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun dan triangulasi. Ketekunan pengamatan adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari.[28] Ketekunan ini dilaksanakan peneliti dengan cara: a). mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan pendidikan di SLB PERTIWI PONOROGO. b) menelaah secara rinci pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tempat salah satu atau seluruh hal tentang keadaan di SLB PERTIWI PONOROGO.
Teknik triangulasi yaitu teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, ada empat macam teknik triangulasi sebagai pemeriksaan, yang dalam hal ini digunakan teknik triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori.
8.         Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan, laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah: a). tahap pra lapangan, yang meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian, b). tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan peran serta sambil mengumpulkan data, c). tahap analisis data, yang meliputi: analisis selama dan setelah pengumpulan data, d). tahap penulisan hasil laporan penelitian.























Daftar Pustaka
Yulia Putri, Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (online), (Http://Yulia-Putri.Blogspot.Com..Html), Diakses 11januari 2015

Abu Ahmadi, dkk  2003, Psikologi Belajar , Solo : PT Rineka Cipta

Herminarto sofyan, &  hamzah B. Uno 2004, Teori Motivasi dan Aplikasinya dalam Penelitian, Gorontalo: Nurul Jannah

Lexy Moleong, 2000,  Metodologi Penelitian Kualitatif ,Bandung: PT Remaja Rosda Karya
.
Tim Penyusun Pedoman Skripsi STAIN, 2009, Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo
Ponorogo : STAIN Press

Suharsimi Arikunto, 1993, Prosedur Suatu Pendekatan Pratek edisi revisi 2, Jakarta : Rineka Cipta.

Sugiyono, 2006 Memahami Penelitian Kualitatif  Bandung : Alfabeta
 Milles dan A. Hubberman, 1992 Analisa Data Kualitatif  Jakarta : UI-Perss
Dedy Mulyana, 2002  Metodologi Penelitian Kualitatif  Bandung : Rosda Karya

Nana Syaodih Sukmadinata, 2007 Metodologi Penelitian Pendidikan Bandung : Remaja Rosdakarya,








[1]Yulia Putri, Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (online), (Http://Yulia-Putri.Blogspot.Com..Html), Diakses 11januari 2015
[2]Yulia Putri, Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (online), (Http://Yulia-Putri.Blogspot.Com..Html), Diakses 11januari 2015

[3] Abu Ahmadi, dkk, Psikologi Belajar  (Solo: Rineka Cipta, 2003), 52.
[4] Ibid., 53-54.
[5] Ibid.
[6] Abu Ahmadi, dkk, Psikologi Belajar  ( Solo : PT Rineka Cipta, 2003), 52.
[9] Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa (Bandung : Refika Aditama, 2005), 67.
[10] Ibid.
[11] .Herminarto sofyan, &  hamzah B. Uno, Teori Motivasi dan Aplikasinya dalam Penelitian, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2004), 23
[12] Mulyono Abdurahman. Pendidikan bagi anaka berkesuliatan belajar,  ( Jakarta:  Rineka Cipta, 2003), 37-38
[13] Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non-Adaptif  (Bandung :Pustaka Bani Quraisy, 2005), 63.
[14] Sutjihati Somantri,  Psikologi Anak Luar Biasa  (Bandung : Refika Aditama,  2005), 111.
[15] Ibid.
[16] Somantri,  Psikologi, 115-116.
[17] Ibid., 108.
[18]Lexy Moleong,  Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000), 3.
[19]Tim Penyusun Pedoman Skripsi STAIN, Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo
( Ponorogo : STAIN Press, 2009 ), 31.
[20]Moleong, Metodologi, 117.
[21] Moleong, Metodologi, 117.
[22]  Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung : Rosda Karya, 2002 ), 180.
[23] Nana Syaodih Sukmadinata, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007 ), 12.
[24] Suharsimi Arikunto, Prosedur Suatu Pendekatan Pratek edisi revisi 2 ( Jakarta : Rineka Cipta, 1993), 107.
[25] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan ( Bandung : Alfabeta, 2006 ), 310.
[26] Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif  (Bandung : Alfabeta, 2006), 329.
[27]  Milles dan A. Hubberman, Analisa Data Kualitatif ( Jakarta : UI-Perss, 1992), 20.
[28] Moleong, Metodologi, 171.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar