inspiration
Minggu, 13 Desember 2015
Minggu, 06 Desember 2015
Kamis, 15 Januari 2015
“Kompetensi siswa tunagrahita ringan dalam kegiatan pembelajaran di SLB PERTIWI PONOROGO Tahun Pelajaran 2014 - 2015”
A.
Judul
penelitian
“Kompetensi siswa tunagrahita ringan dalam kegiatan pembelajaran di SLB
PERTIWI PONOROGO Tahun Pelajaran 2014 - 2015”
B.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya setiap anak berpotensi
mengalami problematika dalam belajar, hanya saja problem tersebut ada yang
ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat
diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan. Namun ada juga yang problem
belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari
orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children
with special needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar.
Namun ketika mereka diinteraksikan bersama-sama dengan anak- anak sebaya
lainnya dalam sistem
pendidikan reguler,
ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan
sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.[1]
Pendidikan adalah hak seluruh warga
negara tanpa membedakan asal-usul, status sosial ekonomi, maupun keadaan fisik
seseorang, termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31. Dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak anak untuk memperoleh
pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang
mempunyai kelainan atau anak yang berkebutuhan khusus. Anak dengan kebutuhan
khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai
anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang
tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya.[2]
Setidaknya, sebagai negara yang mempunyai UUD tentang hak setiap anak untuk
memperoleh pengajaran, pemerintah selayaknya lebih memperhatikan anak yang
dalam proses belajarnya lebih sulit menerima pelajaran sehingga mereka akan
lebih termotivasi dalam menjalani hidup mereka. Dengan mengembangkan
sekolah/lembaga luar biasa yang nantinya akan sangat membantu dalam proses
belajar anak berkebutuhan khusus.
Pembelajaran untuk anak
berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu
strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing–masing.
Dalam penyusunan progam pembelajaran untuk setiap bidang
studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya.
Data pribadi tersebut berkaitan dengan karateristik
spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat
perkembangannya. Karakteristik spesifik student
with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan
fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan
sensori motor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan diri, konsep diri,
kemampuan berinteraksi sosial
serta kreativitasnya.
Dalam memahami anak luar biasa
atau psikologi anak luar biasa ini diperlukan pemahaman kecacatan dan
akibat-akibat dari kecacatan yang terjadi kepada anak/penderita. Pengertian
cacat yaitu anak yang pertumbuhan dan
perkembangannya mengalami penyimpangan baik fisik, mental, dan emosi serta
sosialnya bila dibandingkan dengan anak
lain sebayanya.[3]Jenis
cacat dikelompokkan menjadi lebih khusus lagi, antara lain; tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras.[4]
Lingkungan masyarakat besar
sekali pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang. Begitu juga dengan tingkah laku seseorang dipengaruhi
pula oleh nilai-nilai tata kehidupan masyarakat. Karena itu, pemerintah dan lembaga sosial bersikap
positif terhadap anak berkelainan, sehingga mempengaruhi masyarakat dan
lingkungan perhatiannya terhadap anak berkelainan.
Kecenderungan masyarakat ini ternyata membawa peningkatan
dari kehidupan anak berkelainan di Indonesia. Mengingat kehidupan yang sudah
begitu kompleks akibat kebudayan dalam masyarakat kota besar, maka sesuai
dengan kondisi anak berkelainan lebih dibina dan dikembangkan dalam masyarakat
pedesaan. Hal
ini akan mengurangi resiko dan hambatan pengembangan sosial anak berkelainan.[5]
C.
Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada
kompetensi siswa berkebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran yang meliputi:
kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik di SLB PERTIWI PONOROGO TAHUN
PELAJARAN 2014-2015.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan
fokus penelitian, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana kompetensi
kognitif siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB
PERTIWI PONOROGO?
2.
Bagaimana kompetensi
psikomotorik siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di
SLB PERTIWI PONOROGO?
3.
Bagaimana kompetensi
afektif siswa tunagrahita ringan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB
PERTIWI PONOROGO?
E.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mendeskripsikan
kompetensi kognitif
siswa tunagrahita ringan pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO.
2.
Untuk mendeskripsikan
kompetensi psikomotorik
siswa tunagrahita ringan pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO.
3.
Untuk mendeskripsikan
kompetensi afektif
siswa tunagrahita ringan pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLB PERTIWI PONOROGO.
F.
Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penilitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu
pendidikan, khususnya psikologi anak, dan bimbingan dan Konseling
(BK).
2.
Secara Praktis
a.
Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan tambahan pengalaman untuk
mengembangkan kemampuan anak tunagrahita ringan.
b.
Bagi Lembaga
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan konstribusi secara praktis
sebagai pengembangan kurikulum, dan sebagai bahan pertimbangan dan masukan
dalam hal untuk mencapai tujuan pembelajaran.
c.
Bagi guru
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat sebagai bahan pertimbangan dalam Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) dan guru dapat mengembangkan kemampuan siswa tunagrahita
ringan sehingga dapat bersaing di dunia luar khususnya pendidikan.
d.
Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan tambahan
pengalaman dalam menyusun dan mengembangkan pengetahuan tentang kemampuan siswa
tunagrahita ringan.
e.
Bagi pihak lain
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai sumber informasi, menambah
pengetahuan ilmiah tentang kompetensi anak tunagrahita
ringan dalam kegiatan pembelajaran di SLB PERTIWI PONOROGO tahun pelajaran 2011-2012.
G. Kajian teori
1.
Siswa
Berkebutuhan Khusus
a.
Hakikat siswa
Berkebutuhan Khusus
Dalam memahami anak berkebutuhan khusus
atau disebut dengan anak luar biasa diperlukan pemahaman kecacatan dan
akibat-akibat dari kecacatan yang terjadi pada anak/penderita. Pengertian cacat
yaitu anak yang pertumbuhan dan perkembangannya mengalami penyimpangan baik
fisik mental dan emosi serta sosialnya bila dibandingkan dengan anak lain yang
sebaya[6].
Sehingga sering menimbulkan akibat hambatan tingkah laku sikap dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan
istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan
adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan
yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra
mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan
tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.[7]
b.
Klasifikasi
Anak Berkebutuhan Khusus
Untuk mengetahui golongan, jenis dan
tingkatan anak luar biasa baik dari segi fisik, mental, sosial perlu kita
perhatikan penjelasan di bawah ini.
1)
Kelainan fisik (Physically
handicapped)
Yaitu cacat pada anggota tubuh, tangan,
kaki, indra dan urat-urat saraf yang mengalami kerusakan atau
kekurangsempurnaan atau organ tubuh itu tidak berfungsi.
Adapun yang dapat dikelompokkan dalam
cacat/kelainan fisik adalah :
a)
Tunanetra yaitu
kecacatan pada indera mata baik yang buta total (totally blind) atau yang buta sebagian (partialy blind) sehingga
tidak mampu menyamai mata normal walau dengan alat bantu.
b)
Tunarungu wicara yaitu
tuna yang sering disebut tuli-bisu. Alat pendengarnya terutama membran tympani
(gendangan) mengalami kerusakan akibatnya tidak pernah mendengar hingga tak
punya kesan bahasa sama sekali maka ia bisu akibat ketuliannya.
c)
Tunadaksa atau lebih
dikenal dengan cacat tubuh. Yaitu kecacatan pada bagian-bagian tubuh seperti
tangan, kaki, pinggul atau tulang belakang.
2)
Kelainan mental (Mentally
handicapped)
Yaitu kelainan pada aspek psikisnya,
misalnya intelligensinya di bawah atau di atas normal, berbakat superior genius
(Gifted Talented), takut pada hal-hal tertentu dan sebagainya. Kecacatan
ini berhubungan erat dengan intelligensi maka klasifikasinya berdasar kemampuan
intelligensinya. Secara garis besar kelainan mental ini dikelompokkan menjadi dua
golongan yaitu:
a)
Super normal
Ialah orang yang mempunyai kemampuan berfikir
cemerlang yang juga sering disebut genius.
b)
Sub normal
Yaitu orang yang memiliki kemampuan berfikir di
bawah normal. Disebut juga tunagrahita, lemah ingatan, terbelakang mental atau slow
learner artinya lambat belajar.[8]
c.
Siswa Tunagrahita
1)
Hakikat siswa tunagrahita
Siswa tunagrahita atau keterbelakangan
mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan
sehingga tidak mencapai tahap perkembangannya yang optimal. [9]
2)
Karakteristik Siswa
Tunagrahita
Alfred Binet sebagaimana dikutip oleh
Sutjihati Somantri, dalam memahami anak tunagrahita kita bisa menggunakan
konsep Mental Age (MA), Mental Age adalah kemampuan mental yang
dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Misalnya anak yang mempunyai
usia enam tahun akan mempunyai kemampuan yang sepadan dengan kemampuan anak
usia enam tahun pada umumnya. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari
umumnya (Cronology Age) maka anak tersebut memiliki kemampuan mental
atau kecerdasan diatas rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang
lebih rendah dari pada CA secara jelas. MA dipandang sebagai indeks dari
perkembangan kognitif seorang anak
3)
Klasifikasi anak
tunagrahita
Anak Tunagrahita diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu:
1)
Tunagrahita ringan (debil)
Kelompok ini memiliki IQ antara 68
sampai 52 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler memiliki IQ 69 sampai
55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, berhitung sederhana. Dengan
bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya
akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Namun demikian anak
tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian secara independent, ia
tidak dapat merencanakan masa depan dan suka berbuat kesalahan.
Pada umumnya, anak tunagrahita ringan
tidak mengalami gangguan fisik. Mereka
secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu, agak
sulit membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak
normal.
2)
Tunagrahita sedang (imbesil)
Kelompok ini memiliki IQ antara 51
sampai 36 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler memiliki IQ 54 sampai
40. Mereka masih dapat dididik mengurus diri sendiri, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit
bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca,
dan berhitung. Dalam pengawasan sehari-hari anak tunagrahita sedang membutuhkan
pengawasan yang terus-menerus.
3)
Tunagrahita berat (idiot)
Kelompok ini memiliki IQ antara 32
sampai 20 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler memiliki IQ 39 sampai
25. Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut
Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala weschler.
Mereka memerlukan bantuan perawatan
secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka
memerlukan perlindunagn dari bahaya sepanjang hidupnya.[10]
2.
Kegiatan Pembelajaran
a.
Belajar
Belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku secara
relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari
praktik/penguatan yang dilandasi dengan tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.[11]
Definisi belajar menurut
beberapa para ahli yaitu :
1)
Witherington, dalam
buku educational psycology mengemukakan: “belajar adalah suatu perubahan di
dalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu
pola baru dan reaksi yang berupa kecakapan,
sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian”
2)
Gagne, dalam buku The
Conditions of Learning (1977) menyatakan bahwa: “Belajar akan terjadi
apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa
stimulus bersama dengan isi ingatan
mempengarui siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (Performancenya)
berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia
mengalami situasi tadi”
3)
Menurut Charles E Skinner: “bahwa belajar adalah proses penyesuaian tingkah
laku ke arah yang lebih maju”
b.
Fase–fase dalam proses
belajar
Setiap proses belajar di pandang sebagai
rangkaian sejumlah sub proses yang masing-masing memegang peranan terbatas
dalam keseluruhan proses belajar. Pandangan ini bersumber pada teori pengolahan
informasi. Salah satu teori mengembangkan suatu model yang mengandaikan
sejumalah satuan structural yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu.
Adapun satuan-satuan setruktular berserta fungsinya adalah sebagai berikut:
1)
Dari lingkungan di
sekitarnya, subyek menerima rangsangan-rangsangan yang di tampung oleh
alat-alat indra yang mengolah konstelasi rangsangan itu, sehingga
menjadi rangsang terhadap system urat saraf. Rangsang itu di salurkan melalui
system urat saraf sebagai maasukan (informasi) bagi structural berikutnya.
2)
Masukan di tampung
dalam pusat penampungan kesan-kesan sensoris dan tinggal di situ selama periode
waktu sangat singkat. Semua kesan sensoris yang berasal dari berbagai alat
indra, di olah sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pola yang serasi atau
masuk akal.
3)
Pola perceptual ini
masuk kedalam ingatan jangka waktu singkat dan tinggal di situ selama lebih
kurang 20 detik, kecuali bila informasi yang masuk itu ditahan lebih lama
melalui suatu proses penyimpanan, seolah-olah diputar putarkan sendiri.
4)
Ingatan jangka waktu
lama menampung informasi dalam bentuk organisasi yang telah di hasilkan dan
menyimpannya untuk jangka waktu lama.
c.
Hasil Belajar
Hasil
belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah mengikuti kegiatan
belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang
berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan prilaku yang relatif menetap.
Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan
pembelajaran/ kegiatan instruksional, tujuan belajar telah ditetapkan lebih
dahulu oleh guru. Anak yang berhasil dalam belajar ialah yang berhasil mencapai
tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-tujuan instruksional.[12]
Dalam
sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler
maupun tujuan instruksional, mengunakan klasifikasi hasil belajar dari benyamin
Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah yaitu:
a)
Ranah kognitif
berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu
pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat renadah dan keempata
aspek berikutnya termasuk aspek kognitif tingkat tinggi
b)
Ranah afektif berkenaan
dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau
reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c)
Ranah psikomotorik
berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam
aspek ranah psikomotorik yaitu a) gerakan reflek, b) ketrampilan gerakan dasar,
c) kemapuan perseptual, d) keharmonisan atau ketepatan, e) gerakan ketrampilan
kompleks, dan f) gerakan ekpresif dan interpretatif.
3.
Hasil Belajar siswa tunagrahita
a.
Kompetensi Kognitif
siswa tunagrahita
Pengaruh John
Piaget terhadap pendidikan dan psikologi sangat dalam, terlebih-lebih pada masa
dua dekade terakhir. Oleh karenanya teori piaget tentang perkembangan kognitif
anak-anak berkelainan saat ini telah menjadi konsep pendidikan yang tidak dapat
diabaikan. Teori Piaget menetapkan kerangka kerja fungsional untuk melakukan
tinjauan terhadap perkembangan kognitif perseorangan yang mempunyai hambatan
dalam perkembangan mental, sosial, fisik dan inteligensi.[13]
Menurut Zigler
sebagaimana dikutip oleh Sutjihati Soemantri, para ahli psikologi perkembangan
umumnya beranggapan bahwa jika siswa tunagrahita dibandingkan dengan siswa
normal yang mempunyai Mental Age (MA) yang sama secara teoritis akan
memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama.[14]
Pendapat seperti itu tidak seluruhnya benar sebab ada beberapa penelitian yang
membuktikan bahwa siswa tunagrahita yang memiliki MA yang sama dengan siswa
normal tidak memiliki keterampilan kognitif yang sama. Siswa normal tetap
memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul daripada siswa tunagrahita.
Siswa normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah, sedangkan
siswa tunagrahita bersifat error.[15]
b.
Kompetensi Afektif siswa
tunagrahita
Perkembangan
dorongan dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang anak. Siswa
tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya
sendiri, mereka tidak bisa menunjukkan rasa haus atau lapar dan tidak bisa
mnghindari bahaya. Pada siswa tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih
baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang sederhana.
Pada siswa
terbelakang mental ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan siswa
normal, akan tetapi tidak sekaya siswa normal. Siswa tunagrahita ringan dapat
memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu.
Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman.[16]
c.
Kompetensi Psikomotorik
siswa tunagrahita
Fungsi-fungsi
perkembangan siswa tunagrahita itu ada yang tertinggal jauh oleh siswa normal.
Ada pula yang sama atau hampir menyamai siswa normal. Di antara fungsi-fungsi
yang menyamai atau hampir menyamai siswa normal ialah fungsi perkembangan
jasmani dan motorik.
Perkembangan
jasmani dan motorik siswa tunagrahita tidak secepat perkembangan siswa normal.
Umardjani Martasuta sebagaimana dikutip oleh Sutjihati Somantri, hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani siswa terbelakangan
mental atau tunagrahita yang memiliki MA 2 tahun sampai dengan 12 tahun ada
dalam kategori kurang sekali, sedangkan siswa normal pada umur yang sama ada
dalam kategori kurang.[17]
H. Telaah
terdahulu
Berdasarkan penelitian terdahulu, yaitu penelitian dari
saudara Ahmad Mudhafar Halimi yang berjudul “Implementasi
Pendidikan Individual dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi Siswa
Tunagrahita Ringan Sekolah Luar Biasa “Putra idhata” Dolopo Madiun”.
Rumusan masalah sebagai berikut: 1)
Mengapa pendekatan individual dipergunakan dalam pembelajaran PAI bagi siswa
tunagrahita ringan SLB “Putra Idhata” Dolopo Madiun?, 2) Bagaimana
langkah-langkah penerapan pendekatan individual dalam pembelajaran PAI bagi
siswa tunagrahita ringan SLB “ Putra Idhata” Dolopo Madiun?, 3) Bagaimana
pemahaman siswa tunagrahita ringan SLB “Putra Idhata” Dolopo Madiun tentang PAI
setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan individual?
Hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan sebagai berikut : latar belakang diterapkannya pendekatan
individual dalam pembelajaran PAI bagi siswa tunagrahita ringan SLB “Putra
Idhata” Dolopo Madiun adalah bahwa pendekatan individual dianggap sebagai
pendekatan yang paling efektif, dengan pendekatan individual siswa tunagrahita
ringan akan banyak terbantu dalam menyerap PAI, pendekatan individual banyak
membantu guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan agar siswa
tunagrahita ringan mampu melaksanakan kewajiban-kewajibanya sebagai seorang
muslim. Adapun langkah-langkah pendekatan individual yang diterapkan ada dua
bagian, yaitu bagian pra pembelajaran dan proses pembelajaran. Bagian pertama
langkah-langkahnya adalah mengetahui dan memahami sifat dan karakter
masing-masing siswa, dan memilih bahan/materi yang sesuai dengan kemampuan
siswa. Sedangkan bagian kedua langkah-langkahnya meliputi persiapan,
penyampaian materi PAI secara klasikal, bimbingan individual, dan
evaluasi.Sedangkan kendala dalam melaksanakan langkah-langkah itu adalah
waktunya terbatas dan kemampuan siswa tunagrahita ringan juga terbatas. Dengan
mengimplementasikan pendekatan individual dalam pembelajaran PAI, pemahaman
siswa tunagrahita ringan tentang PAI lebih berkembang, karena siswa lebih
terbantu dengan bimbingan individual guru dalam belajar.
I.
Metodologi Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis
Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif juga
memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data
langsung, deskriptif, di samping hasil proses lebih dipentingkan, analisis
dalam penelitian kualitatif cenderung
dilakukan secara analisa induktif, dan makna merupakan hal yang esensial.[18]
Ada enam
macam metodologi penelitian yang menggunakan
pendekatan kualitatif, yaitu etnografi, studi kasus, teori grounded,
penelitian interaksi, penelitian ekologikal, dan penelitian masa depan.[19]
Dalam penelitian ini, jenis penelitian
yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
mempelajari secara intensif mengenai kompetensi anak tunagrahita ringan dalam
kompetensi bidang akademik. Dalam penelitian ini akan dilakukan secara intensif
mengenai kompetensi siswa berkebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran,
langkah-langkah guru dalam proses pembelajaran, dan upaya lembaga yang terdapat
di dalamnya.
2.
Kehadiran Peneliti
Ciri khas penelitian kualitatif tidak
dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab penelitilah yang menentukan
keseluruhan skenarionya.[20]
Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci,
yaitu peneliti sebagai pengumpul data melalui observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
3.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
mengambil tempat di SLB PERTIWI PONOROGO, karena SDLB merupakan sekolah khusus
untuk anak-anak luar biasa yang mana telah mempunyai kualitas pendidikan yang
sudah diakui oleh negara. Jika sekolah luar biasa pada umumnya untuk semua
golongan anak luar biasa mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), di SDLB Negeri Badegan ini
lebih difokuskan hanya untuk jenjang SD sehingga sesuai dengan jurusan peneliti
yaitu PGMI/PGSD yang nantinya bisa sesuai dengan apa yang akan diteliti.
4.
Data dan Sumber Data
Data utama dalam penelitian ini
adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan
lainnya. Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan
tindakan sebagai sumber data utama, sedangkan sumber data tertulis, foto, dan
statistik adalah sebagai sumber
data tambahan.[21]
Sumber data primer penelitian ini
yaitu person atau orang yang berlaku sebagai informan, yang meliputi
kepala sekolah, waka kurikulum, dan guru kelas tunagrahita ringan. Sumber data
sekunder adalah paper meliputi sumber data tertulis dalam bentuk dokumen
sekolah dan buku-buku, dan place yaitu di SDLB PERTIWI PONOROGO.
5.
Prosedur Pengumpulan
Data
Untuk memperoleh data yang akurat,
peneliti memilih beberapa metode, yaitu interview atau wawancara, observasi,
dan dokumentasi. Teknik ini menjadi pilihan utama karena dalam penelitian
kualitatif, fenomena maknanya dapat dimengerti secara baik apabila dilakukan
interaksi dengan subjek melalui wawancara mendalam, observasi pada latar di mana
fenomena tersebut berlangsung dan dilengkapi
dengan dokumentasi.
a)
Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi
antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dan
seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan
tertentu.[22]
Wawancara ada bermacam-macam diantaranya adalah: a). Wawancara pembicaraan
informal, b). Menggunakan pendekatan umum wawancara, c). Wawancara terbuka.[23]
Di samping itu juga ada macam-macam wawancara yang lain: a). Wawancara oleh tim
panel, b). Wawancara tertutup dan terbuka, c). Wawancara terstruktur dan tidak
terstruktur.
b)
Observasi
Observasi adalah aktivitas untuk
memperhatikan sesuatu dengan menggunakan alat panca indera, yaitu melalui
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap.[24]
Dalam penelitian kualitatif observasi diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: 1). Pengamat dapat
bertindak sebagai seorang pertisipan atau non partisipan, 2). Observasi dapat
dilakukan secara terus terang atau penyamaran, 3). Observasi yang menyangkut
latar penelitian.[25]
c)
Dokumentasi
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman.
Rekaman sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan dengan tujuan membuktikan adanya suatu
peristiwa atau memenuhi accounting.[26]
Dokumen digunakan dengan tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan
tertentu, seperti surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto, dan
sebagainya.
6.
Analisis Data
Teknik analisis data dalam kasus
ini menggunakan analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan
Milles dan Hubberman Spradley. Milles dan Hubberman mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai
tuntas. Adapun langkah-langkah analisis sebagai berikut: [27]
(1) Reduksi Data (data reduction)
Mereduksi data adalah merangkum, memilih
hal-hal yang penting, membuat kategori. Dengan demikian data yang telah
direduksi memberikan gambaran yang lebih
jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
(2)
Penyajian data (data
display)
Penyajian data adalah menyajikan data
sesuai dengan rumusan masalah ke dalam pola yang dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, grafik, matrik, network dan chart. Dengan
menyajikan data akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi,
merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
(3)
Verifikasi (Verification)
Langkah yang terakhir dalam penelitian
ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian
kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu objek yang
sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi
jelas, dapat berupa hubungan interaktif, hipotesis atau teori.
7.
Pengecekan Keabsahan
Data
Keabsahan data merupakan konsep penting
yang diperbaharui dari konsep keaslian (validitas) dan keandalan (reliabilitas).
Derajat keabsahan data (kredibilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan
teknik pengamatan yang tekun dan triangulasi. Ketekunan pengamatan adalah
menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu yang sedang dicari.[28]
Ketekunan ini dilaksanakan peneliti dengan cara: a). mengadakan pengamatan
dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan pengelolaan pendidikan di SLB PERTIWI PONOROGO. b) menelaah secara rinci
pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tempat salah satu atau
seluruh hal tentang keadaan di SLB PERTIWI PONOROGO.
Teknik triangulasi yaitu teknik
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, ada empat macam teknik
triangulasi sebagai pemeriksaan, yang dalam hal ini digunakan teknik
triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori.
8.
Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian dalam
penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir dari
penelitian yaitu tahap penulisan, laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian
tersebut adalah: a). tahap
pra lapangan,
yang meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian,
mengurus perizinan, menjajaki dan menilai keadaan lapangan, memilih dan
memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan yang menyangkut
persoalan etika penelitian, b). tahap
pekerjaan lapangan, yang meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan
diri, memasuki lapangan dan peran serta sambil mengumpulkan data, c). tahap analisis data,
yang meliputi: analisis selama dan setelah pengumpulan data, d). tahap penulisan hasil
laporan penelitian.
Daftar Pustaka
Yulia Putri, Pengertian Anak
Berkebutuhan Khusus (online), (Http://Yulia-Putri.Blogspot.Com..Html),
Diakses 11januari 2015
Abu Ahmadi, dkk 2003, Psikologi Belajar , Solo : PT Rineka Cipta
Herminarto sofyan, & hamzah B. Uno 2004, Teori Motivasi dan
Aplikasinya dalam Penelitian, Gorontalo: Nurul Jannah
Lexy Moleong, 2000,
Metodologi Penelitian Kualitatif ,Bandung: PT Remaja Rosda Karya
.
Tim Penyusun Pedoman Skripsi STAIN, 2009, Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo
Ponorogo : STAIN Press
Suharsimi Arikunto, 1993, Prosedur Suatu Pendekatan Pratek edisi revisi 2, Jakarta : Rineka Cipta.
Sugiyono, 2006 Memahami Penelitian Kualitatif Bandung : Alfabeta
Milles dan A. Hubberman, 1992 Analisa Data
Kualitatif Jakarta : UI-Perss
Dedy Mulyana, 2002 Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung : Rosda Karya
Nana Syaodih Sukmadinata, 2007 Metodologi
Penelitian Pendidikan Bandung : Remaja Rosdakarya,
[1]Yulia
Putri, Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (online), (Http://Yulia-Putri.Blogspot.Com..Html),
Diakses 11januari 2015
[2]Yulia
Putri, Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (online), (Http://Yulia-Putri.Blogspot.Com..Html),
Diakses 11januari
2015
[3] Abu Ahmadi, dkk, Psikologi Belajar (Solo: Rineka Cipta, 2003), 52.
[4] Ibid., 53-54.
[5] Ibid.
[7]Yulia
Putri, Anak Berkebutuhan Khusus, http://www.jubilee-jkt.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=14:siswa-berkebutuhan-khusus//diakses 11 Februari 2012.
[8]Yulia
Putri, Anak Berkebutuhan Khusus, http://www.jubilee-jkt.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=14:siswa-berkebutuhan-khusus//diakses 11 Februari 2012.
[9] Sutjihati Somantri, Psikologi
Anak Luar Biasa (Bandung : Refika Aditama, 2005), 67.
[10]
Ibid.
[11] .Herminarto sofyan, & hamzah B. Uno, Teori Motivasi dan
Aplikasinya dalam Penelitian, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2004), 23
[12] Mulyono Abdurahman. Pendidikan bagi anaka
berkesuliatan belajar, ( Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), 37-38
[13]
Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non-Adaptif (Bandung :Pustaka Bani Quraisy, 2005),
63.
[15]
Ibid.
[17]
Ibid., 108.
[18]Lexy Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2000), 3.
( Ponorogo
: STAIN Press, 2009 ), 31.
[20]Moleong,
Metodologi, 117.
[21] Moleong, Metodologi, 117.
[22] Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian
Kualitatif ( Bandung : Rosda Karya, 2002 ), 180.
[23]
Nana Syaodih Sukmadinata, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2007 ), 12.
[24]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Suatu Pendekatan Pratek edisi revisi 2 (
Jakarta : Rineka Cipta, 1993), 107.
[25]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan ( Bandung : Alfabeta, 2006 ),
310.
[26] Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung : Alfabeta, 2006), 329.
[27] Milles dan A. Hubberman, Analisa Data Kualitatif
( Jakarta : UI-Perss, 1992), 20.
[28] Moleong,
Metodologi, 171.
Langganan:
Postingan (Atom)